Gantinya di depan ribuan kadernya yang memadati kediamannya di Hambalang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, mantan Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus TNI AD itu menyatakan tiga sikap politik. Tak ada satu pun dari sikap politik itu yang menyinggung soal koalisi atau oposisi.
Dalam Rapimnas yang digelar tertutup itu, Prabowo menyatakan sudah menyerahkan konsepsi terkait dorongan besar ekonomi Indonesia dengan semangat ketahanan pangan-energi, pertahanan dan keamanan yang kuat pada presiden terpilih Jokowi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sehari setelah penutupan Rapimnas, mantan cawapres Sandiaga Uno yang kembali jadi Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra mengungkapkan, ada dua kubu dalam partainya. Kubu pertama mendukung Gerindra merapat ke pemerintah, sedangkan kubu kedua ingin tetap di oposisi.
Namun akhirnya, menurut Sandiaga kedua kubu itu akhirnya melebur jadi satu, mengikuti apa pun arahan Prabowo. "Setelah taklimat kemarin sudah tidak ada dua perbedaan, sudah tidak ada dua kubu lagi, sudah tidak ada dua pemikiran lagi. Hanya pemikirannya Pak Prabowo kemarin yang menjadi pegangan bagi semua kader Gerindra," ujar mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta itu.
Secara terpisah Ketua DPP Partai Gerindra Habiburokhman membenarkan ada pertentangan tersebut. "Tepatnya dua pendapat besar. Bukan membentuk faksi, tidak. Karena kan pilihannya cuma dua, koalisi atau tidak koalisi," ujar Habib pada detikcom usai syukuran ulang tahun Prabowo di Jalan Kertanegara Nomor 4, Kamis (17/10/2019) malam.
Baca juga: Gerindra Masuk Koalisi atau Oposisi? |
Dua arus pemikiran yang berseberangan itu menurut Habib akhirnya bisa teratasi karena seluruh kader Partai Gerindra patuh pada pimpinan tertinggi partai, Prabowo Subianto. kita biasa beda pendapat. "Dalam isu lain kami juga sering beragam. Tapi setelah diputuskan kami patuh kepada pemimpin. Kami itu memegang prinsip tegak lurus satu komando" kata Habiburokhman.
Pengamat politik dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Adi Prayitno, mengatakan masih banyak kader-kader Partai Gerindra yang masih kritis pada Jokowi. "Artinya standing position mereka ini masih oposisi," kata Adi saat dihubungi detikcom, Kamis (17/10/2019).
Sisi lain, gerilya politik yang dilakukan Prabowo ke Jokowi dan sejumlah pimpinan partai politik koalisi pendukung pemerintah justru mengindikasikan sebaliknya. Hal itu, menurut Adi menunjukkan betapa seriusnya putra ekonom Soemitro Djojohadikoesoemo itu ingin merapat ke Jokowi.
"Kalau sejak awal Gerindra tegas mau oposisi ya mestinya mereka sudah declare dong seperti 2014 yang lalu. Dulu sehari setelah ditetapkan kalah dari Jokowi, Gerindra langsung declare ambil sikap oposisi," ujar Adi. "Nah sekarang kan terlihat beda posisinya, Prabowo sepertinya tidak mau jadi oposisi."
Dinamika internal Gerindra tersebut bisa selesai kalau Prabowo sudah memutuskan. Gerindra menurut Adi sangat tergantung pada ketokohan mantan Panglima Komando Strategis Angkatan Darat itu. "Kalau Ketum kecenderungannya mau merapat semua tidak bisa berkutik. Begitu juga dengan partai lain yang sami'na wa atho'na apa yang diputuskan oleh ketum. Cuma Golkar yang tidak seperti itu," kata Adi.
Kemungkinan lain sikap ragu-ragu Gerindra itu karena dinamika komposisi kabinet Jokowi masih dinamis. Menurut Adi parpol pendukung utama Jokowi pun belum punya kepastian terkait jumlah menteri yang akan didapatkan. Ini bisa menjelaskan kenapa sikap politik Gerindra mendua, siap menjadi oposisi dan siap juga masuk pemerintahan jika dibutuhkan.
"Memang belum ada angin surga yang bisa dipastikan sebagai bagian yang bisa dikapitalisasi oleh Gerindra untuk merapat ke Jokowi," kata Adi. "Jadi memang hilal politik dari Istana belum tampak. Abu-abu semua masih tertutup awan."
Hilal di sini adalah metafora. Bila dalam arti sebenarnya adalah bulan sabit penanda datangnya bulan baru, seringnya dinantikan sebagai penanda bulan Ramadan, namun di sini 'hilal' dimaknai sebagai tanda-tanda terbukanya pintu pemerintahan Jokowi untuk Gerindra.
Analis politik dari Exposit Strategic, Arif Susanto menyebut perbedaan pandangan dalam tubuh Gerindra untuk memilih apakah akan beroposisi ataukah berkoalisi merupakan hal wajar. Namun, perbedaan tersebut belum sampai membelah partai tersebut dalam suatu friksi yang kuat. "Sejauh ini terlihat bahwa kendali Prabowo atas partai masih mampu menjaga soliditas organisasi," ujarnya. "Meski resistansi lebih kuat muncul dari pendukung di luar partai."
Di sisi lain, keputusan bergabung dengan koalisi pemerintah juga bukan tergantung dari tawaran Presiden Jokowi dan PDIP. Melainkan juga kesediaan anggota lain koalisi untuk menerima Gerindra. "Juga dipengaruhi oleh negosiasi distribusi kekuasaan di antara elite politik," ujar Arif pada detikcom.
Dengan seluruh anggota koalisi pemerintah menghendaki porsi kursi menteri yang besar, bukan hal mudah untuk mencapai tingkat kompromi yang dikehendaki. Sebab, mengakomodasi Gerindra mungkin akan berarti mengecilnya porsi kekuasaan yang akan didapatkan parpol yang sebelumnya sudah "berkeringat" dalam Pilpres.
Arif juga melihat tampaknya keinginan Gerindra untuk bergabung dengan pemerintah sebenarnya lebih kuat dibandingkan sebaliknya. Partai ini merupakan satu-satunya partai besar yang belum pernah menikmati bagian kekuasaan di pemerintahan.
"Gerindra sebagaimana seluruh partai lain berpikir bahwa bergabung dengan pemerintah akan memperbesar peluang mereka untuk memiliki investasi politik sebelum berlaga pada Pemilu 2024," ujar Arif.
Halaman 2 dari 4