Raja berusia 16 tahun itu berada dalam bahaya. Baru empat bulan menjabat, keratonnya sudah diserbu oleh tiga kekuatan besar. Kondisi itu memaksanya untuk pergi bergerilya.
Tiga kekuatan besar yang menyerang Sunan Kuning atau Amangkurat V adalah tentara Pakubuwana II yang dia gulingkan, prajurit Pangeran Cakraningrat IV dari Madura, dan pasukan VOC di bawah komando Kapten Van Hohendorff.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Parentah Betawi nuli nglakokake bala menyang Kartasura (VOC yang berpusat di Batavia memerintahkan untuk menjalankan pasukan ke Kartasura)," demikian tertulis dalam 'Serat Babad Tanah Jawi' yang telah digubah menjadi gancaran (prosa Jawa) oleh Ngabehi Kertaprajda, ditulis atas inisiatif JJ Meinsma tahun 1874.
Laskar Jawa-Tionghoa yang melindungi Sunan Kuning bertahan sekuat tenaga. Namun karena besarnya serangan yang mereka hadapi, banyak prajurit koalisi dua etnis ini yang gugur. Pada 26 November 1742, pasukan Madura mengambil alih Kartasura dari Sunan Kuning. Sang Raja itu harus pergi dari singgasananya untuk menyelamatkan diri.
"Laskar Tionghoa mengawal Sunan Amangkurat V (Sunan Kuning) ke arah selatan," tulis Raden Mas Haryo (KRMH) Daradjadi Gondodiprodjo dalam bukunya, 'Geger Pacinan 1740-1743: Persekutuan Tionghoa-Jawa Melawan VOC'.
Sunan Kuning dan pasukannya kemudian mengarah ke barat sampai ke Randulawang, dekat Prambanan (saat ini perbatasan Yogyakarta dan Jawa Tengah). Dia didampingi oleh Kapitan Sepanjang (Souw Phan Ciang/Khe Panjang) yang merupakan pemimpin laskar Tionghoa pelarian Batavia dan Raden Mas Said.
Nama terakhir adalah Panglima Perang yang saat itu baru berusia 17 tahun, di kemudian hari Raden Mas Said dikenal sebagai Pangeran Samber Nyawa dan menjadi Mangkunegara I.
Dengan 900 pasukan, kubu Sunan Kuning terus bertempur melawan VOC sampai bisa mendekat lagi ke Kartasura. Sayangnya, Van Hohendorff mendatangkan pasukan tambahan yang dipimpin Kraeng Tanete. Pasukan Sunan Kuning harus mundur lagi ke arah Prambanan.
Enam bulan dalam kondisi tegang, VOC kemudian menawarkan kesepakatan kepada Sunan Kuning. Daripada lelah perang terus, mendingan Kerajaan Mataram dibagi dua saja, yang satu untuk Sunan Kuning (Amangkurat V) dan yang satu lagi untuk Pakubuwono II. Syaratnya, Amangkurat V memisahkan diri dari laskar Tionghoa. Tawaran ditolak mentah-mentah.
"Sunan Amangkurat V menolak berkhianat. Randulawang (basis darurat Sunan Kuning -red) dikepung dari segala penjuru," tulis Daradjadi.
VOC sudah mengepung Randulawang dengan 1.007 serdadunya, 223 di antarnaya adalah serdadu Eropa. Pasukan Sunan Kuning menjadi tercerai berai.
Sunan Kuning bersama pasukan Tionghoa-Jawa di bawah Kapitan Sepanjang bergerilya ke timur, sedangkan Raden Mas Said masih berjuang di Sukowati (sekarang Sragen). Sunan Kuning dan Kapitan Sepanjang menghimpun kekuatan laskar Tionghoa di Pasuruan, atas jasa anak cucu Untung Surapati yakni Mas Brahim dan Raden Arya Wiranegara.
Di pengujung tahun, Sunan Kuning mendatangi Loji VOC di Surabaya bersama istri-istri dan 300 pasukan. Perjuangan panjang yang menguras keringat, air mata, darah, dan nyawa kini diakhiri. Dia menyerah kalah.
Seorang tentara VOC yang beretnis Jerman, John Heinrich Schroeder, punya catatan soal kedatangan Sunan Kuning ke Loji VOC di Surabaya saat itu. Sunan Kuning digambarkannya sebagai seorang pangeran yang memiliki 50 istri dan 300 pengikut. Dia mendatangi pemimpin serdadu VOC, Kapten Gerrit Mom.
Bahkan Kapten Gerrit Mom sendiri heran kenapa tiba-tiba Sunan Kuning menyerah, padahal Sunan Kuning didengarnya punya 700 ribu pasukan. Soal ini, Gerrit Mom menceritakan kepada prajuritnya yang berbahasa Jerman, termasuk Schroeder. Di depan prajuritnya itu, dia mengulangi kata-kata yang disampaikannya kepada Sunan Kuning.
"O du schlechter Mann! Und du ΓΌbergiebst bey so einer grossen menge Leute dein Land so willig an ein fremdes Volck," demikian kata Kapten Gerrit Mom, dikutip dari karya Mary Somers Heidhues berjudul '1470 and The Chinese Massacre in Batavia: Some German Eyewitness Accounts'.
Artinya adalah, "Heh, dasar orang jahat (berbicara kepada Sunan Kuning)! Dengan begitu banyak pasukan yang Anda miliki, kemudian Anda menyerahkan tanah Anda untuk bangsa asing."
Sunan Kuning kemudian dibawa ke Semarang, dilanjut ke Batavia, dan akhirnya dibuang ke Sri Lanka. Sunan Kuning meninggal di negeri itu, tempat jauh dari tanah yang dia perjuangkan habis-habisan.
Lalu ke mana Kapitan Sepanjang sang pemimpin laskar Tionghoa? Dia terus bergerak ke timur untuk melawan VOC. Dia dilaporkan kompeni terlihat terakhir di Istana Gusti Agung, Bali, pada 1758. Beberapa tempat yang pernah disinggahinya kemudian diberi nama 'Sepanjang'.
Adapun kondisi Keraton Kartasura sendiri yang luluh lantak kemudian ditinggal oleh Pakubuwana II. Keraton berpindah dari Kartasura ke Surakarta, menempati sebuah desa bernama Sala/Solo. Maka berdirilah Keraton Surakarta Hadiningrat.
Halaman 2 dari 4
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini