Jakarta - Polri menjelaskan cara bertindak Densus 88 Antiteror kepada terduga teroris diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Pasal 184 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dua aturan tersebut menjadi dasar polisi tak menangkap
Syahrial Alamsyah (SA) alias Abu Rara sebelum anggota JAD Bekasi itu menyerang Menko Polhukam
Wiranto.
"UU 5 tahun 2018 dan 184 KUHAP, kan belum cukup bukti perbuatan tersebut untuk dapat dipidana," kata Karo Penmas Divisi Humas Polri, Brigjen Dedi Prasetyo, kepada detikcom, Sabtu (12/10/2019).
Aturan soal SOP penangkapan terduga teroris itu tercantum dalam Pasal 28 UU 5 Tahun 2018. Begini isinya:
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
(1) Penyidik dapat melakukan penangkapan terhadap Setiap Orang yang diduga melakukan Tindak Pidana Terorisme berdasarkan bukti permulaan yang cukup untuk jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari.
(2) Apabila jangka waktu penangkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak cukup, penyidik dapat mengajukan permohonan perpanjangan penangkapan untuk jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kepada ketua pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat kedudukan penyidik.
(3) Pelaksanaan penangkapan orang yang diduga melakukan Tindak Pidana Terorisme
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus dilakukan dengan menjunjung tinggi
prinsip hak asasi manusia.
(4) Setiap penyidik yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dipidana
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan."
Dedi kemudian menjalaskan, soal Abu Rara yang tak ditangkap karena dinilai belum melakukan persiapan untuk melakukan aksi amaliyah.
"Tahapannya baru tahap ketiga, di tahap ini dia lepas dengan kelompok Abu Zee. Kemudian gimana dia mau melakukan amaliyah, kapan, di mana, sasarannya siapa, itu belum bisa di-detect sebelum dilakukan penegakan hukum karena masih belum ada perbuatan melawan hukumnya di situ," ujar Dedi.
Dedi menerangkan seorang terduga anggota kelompok teror dapat diproses hukum saat niat melakukan serangan terbaca semisal ikut latihan militer atau idad, membeli bahan-bahan sederhana yang dapat dirakit mejadi bom dan menargetkan suatu objek untuk diserang.
"Belum ada perbuatan melawan hukumnya seperti ikut idad. Ketika dia sudah idad artinya ada persiapan amaliyah, baru bisa kita tangkap. Kalau dia beli paku, beli pupuk, beli potasium, itu kan tiga bahan yang nggak ada kaitannya, berarti dia mengarah membuat bom. Nah kalau itu, bukti permulaan cukup berarti dia akan buat bom, baru dilakukan penangkapan oleh Densus," jelas Dedi.
Dedi mengatakan Polri berpedoman pada Pasal 184 KUHAP di mana alat bukti keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Jika terduga anggota kelompok teroris hanya terpantau mengikuti perkumpulan dari satu tempat ke tempat lain, maka hal itu belum dapat dijadikan bukti permulaan.
"Kalau dia ikut pengajian ke sana, ke sini, tidak bisa dilakukan preventive strike. Kalau Abu Zee dan 8 orang kelompoknya itukan jelas ikut idad, beli TATP, baru bisa dilakukan penangkapan. Kalau dia sudah aktif, bel-beli peralatan yang diduga untuk merakit bom, baru itu harus segera ditangkap sebelum dia melakukan suicide bomb," tutur Dedi.
Polri sebelumnya mengaku sudah memantau Syahrial Alamsyah alias Abu Rara sebelum terjadi insiden penusukan terhadap Menko Polhukam Wiranto. Polisi tidak langsung menangkap anggota JAD Bekasi jaringan Abu Zee tersebut.
Abu Zee merupakan pimpinan kelompok JAD Bekasi yang sudah ditangkap pada 23 September lalu. Abu Rara dan Abu Zee baru sekali bertemu. Mereka juga sempat berkomunikasi lewat media sosial.
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini