Hal tersebut disampaikan Hendri dalam diskusi 'Buzzer dan Ancaman terhadap Demokrasi' di kantor YLBHI, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (11/10/2019). Hendri awalnya menyebut tak ada yang salah dengan buzzer asal digunakan untuk hal-hal yang baik.
Baca juga: Kominfo: Buzzer Itu Boleh, Tapi... |
"Kekesalan masyarakat pada buzzer itu karena ada ketidakadilan itu. Kalau saya pribadi, kalau Istana pakai buzzer boleh nggak? Menurut saya sih boleh-boleh aja. Kalau buzzer dikerahkan untuk hal-hal baik," kata Hendri.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sekarang kan memang problemnya mereka (buzzer Istana) boleh salah dan nggak apa-apa, kalau yang tidak berada di lingkungan Istana nggak boleh salah. Kalau salah, (kena) UU ITE," ujar Hendri.
"Saya sih nggak yakin kita kesel sama Denny Siregar cuma gara-gara tulisannya. Kita kesel sama tulisannya Denny Siregar karena kita tahu tulisannya nggak bener tapi dia nggak diapa-apain. Sebenernya kan itu. Jadi kalau ditanya buzzer membahayakan demokrasi nggak? Nggak sih, cuma yang membahayakan itu pesannya yang didiamkan," imbuhnya.
Menurut Hendri, buzzer muncul salah satunya karena kebutuhan pasar. Pendiri Lembaga Survei Kedai KOPI itu menyebut ada cara untuk 'mematikan' buzzer, yaitu dengan mendiamkan atau tidak merespons apa yang disebarkan oleh buzzer.
Hendri lalu kembali bicara soal ketidakadilan sehingga para buzzer ini banyak dibenci. Menurutnya, para buzzer merasa aman karena berada di tempat yang bergengsi di negara ini.
"Dan aman-aman aja posisi mereka di sana. Dan aman-amannya artinya bisa cengangas-cengenges, bisa masuk ke tempat yang sangat luxurious di negara ini, terus kemudian ya mereka menikmati kemewahan itu. Bila ketidakadilannya dihapus, artinya adil, kalau satu kena UU ITE, semuanya UU ITE, saya yakin kebencian terhadap buzzer itu akan lebih minimal," ucapnya.
Sementara itu, Kepala Departemen Kajian Strategis BEM UI, Elang, menceritakan soal pihaknya yang diserang para buzzer dari dua arah, baik pendukung pemerintah maupun yang kontra. Menurutnya, ada semacam ketidakpahaman bahwa aksi yang dilakukan mahasiswa sebenarnya bukan untuk menyerang pribadi Jokowi, tetapi menyerang kebijakannya.
"Kesimpuapnnya adalah yang bermain dengan buzzer bukan hanya satu kekuatan politik. Tapi dua kekuatan politik ini memainkan buzzer. Karena setiap kebijakannya diserang atau pemimpinnya diserang, baik petahana atau oposisi, itu pasti ada buzzer yang muncul," ucap Elang.
"Jadi sangat mendistorsi ya seakan-akan aksi itu sesimpel kita menyerang individunya. Padahal kita menyerang kebijakannya. Jadi ketika kita menyerang kebijakan Jokowi, besok kita dituding menyerang Jokowinya dan mendukung oposisi Jokowi. Kultur seperti itu yang kita lihat semakin memperparah keadaan yang tidak perlu," pungkasnya.
Halaman 2 dari 2
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini