"Kita melihat justru di akhir masa jabatan DPR 2014-2019, bukan kemudian mengevaluasi apa yang dilakukan. Tapi justru dengan sangat bernafsu menyelesaikan beberapa undang-undang, yang sebenarnya ditolak oleh publik untuk disahkan," ujar Veri dalam diskusi Trijaya 'Evaluasi Kinerja dan Reformasi Parlemen' di D'Consulate Resto & Lounge, Jl Wahid Hasyim, Jakarta Pusat, Selasa (8/10/2019).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau kita lihat apakah kualitas UU yang disahkan itu cukup baik, menurut saya tidak. Kami di KoDe Inisiatif memang memiliki data, pengujian UU di MK. Jadi rata-rata UU yang baru disahkan, mereka diuji di MK," ujar Veri.
Veri mengatakan, berdasarkan data yang dimiliki KoDe Inisiatif, pengujian UU ini berkaitan dengan kepastian hukum. Jadi, menurutnya, beberapa UU yang disahkan menimbulkan masalah dan ketidakpastian hukum.
"Rata-rata kalau kita lihat, regulasi seringnya dibenturkan dengan pasal terkait dengan kepastian hukum," kata Veri.
"Apa maknanya, maknanya adalah dalam proses pembuatan UU, DPR menimbulkan ketidakpastian dalam proses pengaturan, ini salah satu problem. Paling banyak tentang pemerintah daerah, pemilu, KUHP, soal parpol, dan parlemen itu isu paling banyak," sambungnya.
Sementara itu, dalam kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa meminta DPR tidak mengesahkan UU dengan sistem kebut semalam. Menurutnya, pengesahan UU harus mendengar dan mengakomodasi suara rakyat.
"Jangan sistem kebut semalam, yang mengatur soal kekayaan bumi itu dikerjakan dalam 3 hari, apa nggak gila. Jadi menurut saya ini harus dimulai dengan iktikad baik, kita perlu anggota DPR yang punya iktikad baik untuk mendengar suara rakyat, dan untuk mengakomodasi kepentingan publik dalam produk legislasi," tuturnya.
Halaman 2 dari 2
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini