Dirangkum detikcom, Lembaga Survei Indonesia (LSI) merilis survei terkini mengenai respons publik terkait UU KPK yang baru. Berdasarkan hasil survei LSI, 70,9 persen publik menyatakan UU KPK melemahkan KPK.
Survei dilakukan dengan metode wawancara menggunakan telepon pada 4-5 Oktober 2019. Responden dalam survei ini dipilih secara acak dari responden survei nasional LSI sebelumnya, yakni survei pada Desember 2018-September 2019 yang jumlahnya 23.760 orang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam survei tersebut, responden dipilih secara stratified cluster random sampling dan terpilih 1.010 orang. Survei ini memiliki toleransi kesalahan (margin of error) sekitar 3,2 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.
Selanjutnya, LSI bertanya ke publik perlukah Presiden Joko Widodo menerbitkan Perppu untuk membatalkan UU KPK yang dinilai melemahkan KPK. Hasilnya, 76,3 persen publik setuju Jokowi menerbitkan Perppu UU KPK.
"(Sebesar) 76,3 persen setuju, 12,9 persen tidak setuju, 10,8 persen tidak tahu tidak menjawab," kata Direktur Eksekutif LSI Djayadi Hanan.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) ikut bersuara. Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI Syamsuddin Haris berharap Jokowi menerbitkan Perppu KPK. Dia menyarankan Perppu itu diterbitkan setelah 17 Oktober 2019.
"Titik tolaknya adalah 17 Oktober sebab itu satu bulan sesudah 17 September di mana disepakati DPR dan pemerintah UU KPK direvisi. Walaupun Presiden Jokowi tidak tanda tangan UU yang disepakati tadi itu bisa tetap sah berlaku. Oleh karena itu, memang pilihan yang baik bagi Pak Jokowi adalah menunggu tanggal 17 Oktober 2019, dengan demikian penerbitan Perppu KPK bisa dilakukan setelah 17 Oktober. Nah, sesudah itu kapan? Ada dua, bisa sebelum dan sesudah pelantikan presiden," kata Syamsuddin Haris di Hotel Erian, Jl Wahid Hasyim, Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (6/10).
Menurut Syamsuddin, lebih baik Jokowi menerbitkan Perppu KPK itu setelah pelantikan presiden terpilih dan sebelum menetapkan kabinet. Pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih akan dilakukan pada 20 Oktober mendatang.
"Nah kalau penerbitan Perppu itu dilakukan setelah 17 Oktober tapi sebelum pelantikan mungkin ada kekhawatiran pelantikan akan terganggu, misalnya ada parpol yang tidak hadir di Senayan. Memang yang paling aman sesudah pelantikan presiden, tapi sebelum pembentukan kabinet. Itu waktu yang paling pas," ucapnya.
Hal senada disampaikan Guru besar UIN Azyumardi Azra. Ia meminta Jokowi segera menerbitkan Perppu KPK. Menurut dia, saat ini keadaan sudah cukup genting mengingat gelombang aksi massa mahasiswa beberapa waktu belakangan.
"Kegentingan yang memaksa itu saya kira kemarin demo-demo sudah besar ya kan. Bahkan mahasiswa juga masih menggertak atau mengancam mau demo lagi kalau, misal, Presiden Jokowi nggak mengeluarkan perppu itu menjelang tanggal 14 (Oktober)," ata Azyumardi di Hotel Bidakara, Pancoran, Jakarta Selatan, Minggu (6/10).
"Demo-demo itu saya kira ini memang agak, agak lain yang perlu diperhatikan secara cermat oleh Presiden Jokowi. Karena kalau kita lihat demo yang kemarin itu demo yang terbesar selama pemerintahan Jokowi kan. Tidak hanya di Jakarta, hampir diseluruh kota di Indonesia," imbuh dia.
Berikutnya, Koalisi Save KPK yang terdiri dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), serta Pusat Studi Kontitusi Universitas Andalas (Pusako Andalas) mendorong Jokowi segera menerbitkan Perppu yang membatalkan UU KPK baru. Menurut Koalisi Save KPK, ada tiga alasan UU KPK baru perlu dibatalkan.
"Pertama, bermasalah secara formil. Sebab, UU Revisi UU KPK pada dasarnya tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas tahun 2019," demikian pernyataan Koalisi Save KPK, Minggu (6/10).
"Kedua, bermasalah secara substansi. Penting untuk diketahui publik bahwa hampir keseluruhan pasal yang telah disepakati telah dirancang jauh-jauh hari oleh pembentuk UU. Dalam catatan ICW setidaknya isu revisi UU KPK telah mulai bergulir sejak 2010. Namun, karena terjadi penolakan oleh masyarakat sehingga isu ini pun redup dengan sendirinya," demikian bunyi pernyataan itu selanjutnya.
Anomali pun terjadi. Di saat penolakan terhadap UU KPK semakin luas, justru DPR dan pemerintah bersikukuh mengesahkan pasal-pasal bermasalah. Mulai dari pembentukan Dewan Pengawas, pemberian izin pro justitia pada Dewan Pengawas, kewenangan KPK menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), sampai pada mencabut status penyidik dan penuntut pada pimpinan KPK.
"Ketiga, KPK secara institusi tidak dilibatkan dalam proses pembahasan. Harusnya ini dipahami oleh DPR dan pemerintah, KPK adalah lembaga yang menjalankan UU tersebut di masa mendatang, lalu kenapa tidak dilibatkan? Sehingga narasi penguatan yang selama ini digaungkan oleh DPR dan pemerintah akan runtuh karena KPK tidak pernah diberikan ruang untuk terlibat lebih jauh dalam pembahasan," bunyi lanjutan pernyataan itu.
Lantas, kapan Jokowi akan menerbitkan Perppu KPK?
Halaman 2 dari 2
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini