"Jadi ketika ada draf yang dikembalikan dan angka yang diubah, saya pikir ini bukan masalah salah ketik. Ini ada pembahasan atau persetujuan yang kemudian harusnya terjadi pembahasan ulang, karena tidak sesuai dengan kesepakatan yang sudah dilalui," kata Fajri saat konferensi pers di LBH Jakarta, Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (6/10/2019).
Sebab, menurutnya, dalam proses pembahasan UU itu pasti dilakukan dengan sangat detail mulai dari kalimat hingga tanda baca. Karena itu, Fajri menilai tidak tepat jika UU KPK itu hanya disebut salah ketik.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ketika dikatakan salah ketik, lalu apa maknanya di DIM-nya pemerintah itu memang diusulkan bahwa pimpinan KPK harus berusia minimal 50 tahun. Jadi bukan satu hal yang baru, bukan teknis administrasi tapi ini sebuah substansi yang berubah," imbuh Fajri.
Fajri berpendapat harus ada pembahasan ulang antara pemerintah dan DPR untuk membahas kesalahan tersebut. Sebab, ia menilai kesalahan tersebut sudah menyangkut masalah subtansi.
"Perlu dipahami bahwa di konstitusi UU itu akan sah jika persetujuan bersama pemerintah dan DPR. Tapi ketika ada satu saja substansi yang kemudian berubah itu, pertanyaannya apakah ini bagian dari persetujuan kemarin, saya rasa tidak. Konsekuensinya ketika menyetujui hal yang terkait revisi, saya pikir proses nya harus berulang dari awal, rapat awal lagi bahkan sampai pembahasan bersama," tuturnya.
UU KPK yang baru sebelumnya sudah disetor ke Istana. Namun Jokowi belum meneken UU itu karena masih ada salah penulisan atau typo.
Dilihat detikcom, Kamis (3/10), kesalahan penulisan itu salah satunya ditemukan di Pasal 29. Pimpinan KPK ditulis harus memenuhi persyaratan paling rendah 50 tahun (tertulis dalam angka). Namun angka dan keterangan di dalam kurung tidak ditulis sama. Keterangan dalam bentuk tulisan menyebutkan 'empat puluh'.
Halaman 2 dari 2