Perlukah Buzzer Politik yang Tak Langgar Hukum Ditertibkan?

Buzzer dan Kakak Pembina

Perlukah Buzzer Politik yang Tak Langgar Hukum Ditertibkan?

Rakhmad Hidayatulloh Permana - detikNews
Minggu, 06 Okt 2019 14:36 WIB
Foto: Ilustrasi Buzzer (Tim Infografis Fuad Hasim)
Jakarta - Fenomena buzzer politik mengemuka. Para buzzer ini dinilai sebagai penutup keran kritik untuk pemerintah. Sebenarnya, buzzer politik merupakan sisa pertarungan Pilpres 2019.

Munculnya fenomena para buzzer ini salah satunya diteliti dalam penelitian berjudul 'Di Balik Fenomena Buzzer: Memahami Lanskap Industri dan Pengaruh Buzzer di Indonesia' (2019). Penelitian ini ditulis oleh Rinaldi Kamil, Natasha Hassan Attamimi dan Klara Esti dari Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG).


Dalam penelitian tersebut, dijelaskan bahwa munculnya buzzer adalah keniscayaan dari zaman internet dan media sosial. Internet dan media sosial jadi lahan menarik yang bisa mendatangkan keuntungan politis dan ekonomis. Namun sayangnya, Indonesia termasuk salah satu negara yang gagap menyikapi fenomena ini. Selain itu, buzzer mulanya kerap digunakan untuk kepentingan korporasi. Akibatnya, makna buzzer menjadi peyoratif karena keterlibatan buzzer dalam politik.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Pada awalnya buzzer lumrah dilibatkan oleh korporat dalam promosi produk. Keterlibatan buzzer di Indonesia dalam peristiwa politik telah berkontribusi negatif terhadap citra dan pemaknaan khalayak terhadap buzzer," tulis penelitian tersebut.


Buzzer lantas didefinisikan sebagai individu atau akun yang memiliki kemampuan amplifikasi (menyebarkan secara massif) pesan dengan cara menarik perhatian dan/atau membangun percakapan dan bergerak dengan motif tertentu.

Secara umum, masih seperti dikutip dari penelitian tersebut, buzzer memiliki beberapa karakter umum. Yakni, jaringan luas, kemampuan produksi konten, persuasif dan digerakkan oleh motif tertentu (entah itu bayaran atau sukarela).



Sementara itu, peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Gita Putri yang juga pernah mengamati fenomena ini menjelaskan bahwa fenomena buzzer ini bukan hanya terjadi di Indonesia.

"Ini bukan hanya eksklusif di Indonesia saja. Kalau kita lihat di Amerika Serikat, banyak pihak-pihak yang melakukan spin-berita (memutarbalikkan berita). Jadi nggak eksklusif di Indonesia saja. Tapi, fenomenanya, spin berita itu cenderung mendukung status quo. Jadi agendanya, bukan oposisi. Tapi status quo," kata Gita.


Gita menjelaskan, pergerakan para buzzer ini tergantung iklim politik juga. Kalau iklim politiknya sedang pemilu, mereka akan terbagi menjadi kubu-kubu. Kalau bukan waktu pemilu, pekerjaan buzzer berubah lagi. Tergantung si pemesan.

"Buzzer untuk sebagian orang itu untuk mendapatkan penghasilan. Rasanya, nggak tepat juga kita mematikan penghasilan seseorang. Apalagi belum melanggar hukum," ujar Gita.



"Pak Moeldoko menyebut ada buzzer yang kubu pemerintah dan non-pemerintah, padahal sesungguhnya yang dilupakan dari narasi tersebut adalah edukasi publik. Jadi yang penting adalah bukan yang disampaikan oleh buzzer, tapi bagaimana persepsi publik membaca materi yang dikeluarkan oleh buzzer tersebut. Yang penting adalah edukasi publik," sambungnya.



Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko enggan menanggapi persepsi bahwa buzzer pro-pemerintahan Jokowi kebal hukum. Moeldoko telah menyampaikan soal perlunya langkah penertiban buzzer.



"Saya pikir memang perlu (ditertibkan). Kan ini kan yang mainnya dulu relawan, sekarang juga pendukung fanatik," ucap Moeldoko di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Kamis (3/10).
Halaman 2 dari 3
(rdp/zak)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads