Jokowi Tak Usah Takut! Gelombang Perppu KPK Tak Kunjung Surut

Round-Up

Jokowi Tak Usah Takut! Gelombang Perppu KPK Tak Kunjung Surut

Tim detikcom - detikNews
Sabtu, 05 Okt 2019 04:56 WIB
Presiden Jokowi (Foto: Andhika Prasetia/detikcom)
Jakarta - Hari demi hari berlalu selepas Presiden Jokowi memberi sedikit asa pada publik soal penerbitan Perppu KPK. Namun saat ini tampak kegamangan lantaran tak ada kabar berita mengenai kejelasan langkah Jokowi.

Ditambah lagi bisikan dari elite partai politik koalisi pemerintah menghembuskan isu pemakzulan bila Perppu itu diterbitkan Jokowi. Salah satunya dari Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh pada Rabu (2/10) memandang akan ada masalah jika Perppu KPK diterbitkan di tengah proses judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK).




SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Saya kira masalahnya sudah di MK kenapa kita harus keluarkan Perppu. Ini kan sudah masuk ke ranah hukum, ranah yudisial namanya. Salah lho. Mungkin masyarakat dan anak-anak mahasiswa tidak tahu kalau sudah masuk ke ranah sana, presiden kita paksa keluarkan Perppu, ini justru dipolitisir," tutur Paloh di Gedung DPR saat itu.

"Salah-salah presiden bisa di-impeach karena itu. Salah-salah lho. Ini harus ditanya ahli hukum tata negara. Coba deh, ini pasti ada pemikiran-pemikiran baru. Kalau itu tuntutan pada anak-anak itu melihat itu," sambung dia.

Belakangan anggota Dewan Pakar Partai NasDem Teuku Taufiqulhadi menjelaskan celah pemakzulan yang disampaikan sang ketua umumnya itu. Dia menyebut ada dua faktor potensi pemakzulan terkait penerbitan Perppu KPK.

Taufiqulhadi menyatakan tak ingin Jokowi terjebak. Dia turut menyinggung aksi unjuk rasa saat ini dengan isu yang dibawa Paloh.

"Coba lihat saja karakter daripada unjuk rasa sekarang, unjuk rasa sekarang ini adalah dia sudah melenceng. Kita tidak tahu lagi apa tujuannya. Kalau tujuannya menunda sejumlah RUU, sudah selesai, sudah ditunda oleh Presiden," sebut Taufiqulhadi kepada wartawan, Rabu (2/10).




Perihal sejumlah unjuk rasa yang menurutnya tak punya tujuan ini menurut Taufiqulhadi hanya bertujuan menggulingkan Presiden Jokowi lewat berbagai isu. Dia memandang jika ada penolakan terhadap revisi UU KPK yang telah disahkan DPR periode 2014-2019, jalan untuk melakukan perlawanan yakni lewat judicial review atau uji materi di (MK).

"Kalau perppu itu, itu sebetulnya seperti mengabaikan adanya lembaga legislatif. Jadi adalah pengabaian terhadap lembaga legislatif itu adalah biasanya perppu. Karena itu perppu sudah mendesak sekali baru dikeluarkan dan itu disetujui DPR. Kalau itu tidak mendesak sekali dan tidak disetujui oleh DPR, jangan, karena itu akan membuat komunikasi antara legislatif dan eksekutif itu memburuk," sebut dia.



Namun isu itu ditepis oleh para pakar hukum tata negara. Salah satunya dari Bivitri Susanti yang merupakan salah satu pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) dan juga ahli hukum tata negara lulusan Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Mulanya Bivitri menepis isu yang menyebutkan bila Perppu adalah langkah inkonstitusional.

"Intinya kami ingin menanggapi apa yang disampaikan belakangan ini yang saya kira sebenarnya sudah cukup meresahkan, tidak hanya bagi publik tapi saya kira... jangan-jangan bunyinya kok seperti mengancam Pak Presiden, saya kira rekan-rekan wartawan sudah tahu juga," kata perempuan yang biasa disapa Bibip itu dalam jumpa pers, Jumat (4/10/2019).

"Ada yang mendengar sebagian pihak misalnya mengatakan perppu itu langkah inkonstitusional, saya sebagai pengantar memperjelas bahwa perppu itu ada di Pasal 22 UUD 1945, jadi jelas-jelas konstitusional. Sangat keliru kalau dikatakan itu inkonstitusional," imbuhnya.




Bibip lalu menjelaskan tentang isu pemakzulan yang muncul di tengah upaya dukungan agar Jokowi mengeluarkan Perppu KPK. Menurutnya, isu itu disampaikan para elite partai politik yang kurang cermat membaca UUD 1945.

"Perlu kami ingatkan kepada segenap elite politik yang mungkin agak luput dalam membaca UUD kita, bahwa tahun 1999-2002 UUD kita sudah berubah, sekarang ini presiden kita sendiri yang coblos, rakyat dan dia pun tidak bisa dijatuhkan oleh MPR. Dia hanya bisa dijatuhkan oleh Pasal 7A UUD bila melakukan pelanggaran hukum misalnya korupsi, penyuapan, pengkhianatan, dan lain-lain, dan itu pun prosedurnya tidak mudah," ucap Bibip yang mendapat gelar doktor dari University of Washington di Seattle, Amerika Serikat, tersebut.

"Kalau ada tuduhan yang sifatnya hukum tadi, maka harus dibawa dulu ke Mahkamah Konstitusi, Pasal 7B UUD juga tertulis jelas sekali. Nanti kalau sudah dibuktikan secara hukum bahwa ada pelanggaran baru dia bisa dijatuhkan, jadi mirip-mirip dengan impeachment di Amerika Serikat," imbuhnya.



Di tempat yang sama mantan Peneliti Utama LIPI, Mochtar Pabottingi, meminta Jokowi tidak ragu mengambil keputusan mengeluarkan Perppu KPK. Dia menilai UU KPK baru melemahkan gerakan pemberantasan korupsi.

"Coba kalau Pak Jokowi hari ini atau besok keluarkan Perppu. Maka semua yang nolak Perppu itu akan balik lagi pada Jokowi, karena memang mereka adalah bajing loncat, tidak ada prinsip. Jadi ini yang harus disadari oleh Pak Jokowi untuk tidak usah takut mengenai itu," ujar Mochtar.




"Apakah beliau (Jokowi) mau dicatat dengan tinta emas atau tidak? Nah, ini sama dengan Pak Harto. Pak Harto tuh banyak sekali pembangunan yang dilakukannya tapi karena korupsi merajalela dan dia biarkan, semuanya jadi hilang, musnah," sambung dia.

Karena itu, Jokowi diminta tidak memusingkan pandangan sejumlah pihak yang menolak Perppu KPK, termasuk dari kalangan parpol.

"Pak Jokowi harus melihat di mana bermukim barisan bablasan Orde Baru, dan di mana barisan reformasi. Barisan Orde Baru banyak bercokol di parlemen kita, akui saja. Itulah barisan yang tidak punya prinsip, tidak punya ideologi," kata Mochtar.


Halaman 2 dari 3
(dhn/zap)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads