"Propaganda lewat komputasi, penggunaan algoritme, automasi, dan big data untuk membentuk kehidupan publik--kini menjalar ke seluruh bagian keseharian hidup," tulis penelitian itu, dilansir dari situs resmi Oxford Internet Institute, Jumat (4/10/2019).
Penelitian itu bertajuk 'The Global Disinformation Order: 2019 Global Information of Organized Social Media Manipulation' atau 'Orde Disinformasi Global: Informasi Global tentang Manipulasi Media Sosial Terorganisir 2019'. Penelitian ini adalah karya Samantha Bradshaw dan Philip N Howard dari Universitas Oxford.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jenis akun
Soal teknik manipulasi medsos, 87% negara menggunakan akun manusia, 80% negara menggunakan akun bot (robot), 11% negara menggunakan akun cyborg (akun otomatis yang dikurasi manusia), dan 7% negara menggunakan akun curian atau retasan. Bagaimana dengan di Indonesia?
Di Indonesia, pasukan siber menggunakan akun bot dan akun manusia. Di Amerika Serikat, Inggris Rusia, dan Jerman misalnya, pasukan siber yang memanipulasi medsos menggunakan akun bot, akun manusia, dan akun cyborg.
Pesan dan daya tarik
Aktivitas pasukan siber di 70 negara menggunakan pesan dan daya tarik yang bervariasi. 71% Pesan mereka menyebarkan propaganda pro-pemerntah dan pro-partai, 89% menggunakan propaganda komputasional untuk menyerang oposisi politik, dan 34% menyebarkan pesan memecah belah masyarakat.
Temuan di Indonesia, pesan pasukan siber punya muatan mendukung pemerintah, pesan menyerang oposisi, dan pesan memecah belah. Yang tidak ditemukan adalah pesan pengalihan isu dan pesan menekan partisipasi publik lewat serangan personal atau pelecehan.
Di Turki, pesan dan daya tarik dari aktivitas buzzer adalah mendukung pemerintah dan menyerang oposisi. Di Arab Saudi pesan dan daya tarik dari aktivitas buzzer-nya adalah mendukung pemerintah, menyerang oposisi, memecah belah, dan menekan partisipasi lewat serangan personal dan pelecehan.
Di Amerika Serikat (AS), pesan dan daya tarik dari aktivitas buzzer ada yang mendukung pemerintahnya, menyerang oposisi, mengalihkan isu, memecah belah, dan menekan partisipasi lewat serangan personal dan pelecehan.
Ada 70 negara yang menjadi objek penelitian ini. Tahapan metodologi penelitian ini adalah analisis konten berita yang dipakai pasukan siber, ulasan literatur, penyusunan studi kasus negara, dan konsultasi ahli. Peneliti juga mengaku bekerja sama dengan BBC.
Pemerintah bantah pelihara buzzer
Penelitian Oxford itu menjelaskan buzzer politik atau pasukan siber di Indonesia bekerja di bawah organisasi politikus atau parpol dan swasta. Pemerintah sendiri menyatakan tidak membiayai buzzer. Pihak Istana Kepresidenan menegaskan justru pemerintah menjadi sasaran buzzer yang kontra terhadap Presiden Jokowi.
"Buzzer politik itu yang lebih banyak difitnah adalah pemerintah, yang lebih banyak terpojok dan di-bully itu adalah pemerintah, jadi jangan juga memutarbalikkan fakta, tidak ada satu kekuatan politik di dunia mana pun yang tidak menggunakan media sosial," kata Tenaga Ahli Kedeputian IV Kantor Staf Presiden Ali Mochtar Ngabalin di acara diskusi Hotel Mandarin Oriental, Jl MH Thamrin, Jakarta Pusat, Jumat (4/10/2019).
Pemerintah tidak pernah memelihara buzzer. Kalaupun ada akun media sosial yang mendukung pemerintah, dia menilai itu merupakan inisiatif pribadi.
"Yang pasti tidak mungkin pemerintah mengorganisir, tidak mungkin, lembaga pemerintah bagaimana mungkin bisa mengorganisir lembaga di luar pemerintah," ujar Ngabalin.
Halaman 2 dari 3
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini