Mataram - Ulah WN Prancis, Dorfin Felix, seakan-akan tiada akhir. Setelah hukuman matinya dianulir menjadi 19 tahun, ia masih saja tidak kapok. Ia masih berusaha kabur dari LP Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB).
Dorfin membawa dua koper dari Lyon, Prancis, menuju Jakarta, Indonesia. Pesawat Lufthansa yang ditumpanginya lebih dulu transit di Frankfurt, Jerman, dan Singapura dalam penerbangan Kamis, 20 September 2018.
Dorfin tiba di Lombok sehari kemudian. Narkoba di dalam kopernya akhirnya terdeteksi mesin
X-ray Lombok International Airport meskipun sudah lolos di dua bandara sebelumnya.
Saat ditahan di sel Polda NTB, ia sempat kabur dengan menyuap Kasubdit Pengamanan Tahanan dan Barang Bukti (Pamtahti) Polda NTB Kompol Tuti Maryati. Akhirnya Dorfin kabur dari sel Polda NTB pada 21 Januari 2019.
Pelariannya membuat geger dan rapor aparat kepolisian. Akhirnya Dorfin ditangkap di Gunung Malang, di Pusuk, Kecamatan Pemenang, Kabupaten Lombok Utara, pada 1 Februari 2019.
Tak mau kebobolan lagi, polisi segera memproses Dorfin dan ia mulai menjalani proses hukum di PN Mataram 20 hari setelahnya.
 Foto: Dorfin Felix |
Drama hukum ditampilkan sepanjang persidangan. Dorfin awalnya dihukum mati oleh PN Mataram. Tapi hukuman mati itu dianulir menjadi 19 tahun penjara oleh PT Mataram. Bagaimana dengan jaksa? Korps Adyaksa juga memilih menerima dengan dalih hukuman di atas tuntutan 18 tahun penjara.
Saat ditahan di LP Mataram, Dorfin kembali membuat ulah dengan berusaha kabur pada Minggu (29/9). Namun hal itu berhasil digagalkan atas kejelian sipir penjara.
"Upayanya ketahuan petugas sipir kami pada Minggu (29/9) malam, sekitar pukul 18.30 Wita. Ketika itu dia tertangkap sedang berupaya melubangi tembok sel," kata Kepala LP Mataram Tri Saptono Sambudji di Mataram, sebagaimana dilansir
Antara, Jumat (4/10/2019).
Karena ulahnya, petugas memberikan hukuman kepada Felix, yaitu dia dipindah ke sel isolasi. Dari hasil pemeriksaan, Felix mencoba kabur dari sel tahanannya dengan memanfaatkan patahan besi bekas penutup got yang dihantam dengan batu. Agar tidak menimbulkan suara berisik, ujung dari patahan besi itu dibalutnya dengan kain.
"Tapi ketahuannya itu karena ada suara gemericik yang mencurigakan di area sel isolasi. Setelah itu kami interogasi, sudah selama satu bulan ini dia mengerjakan itu," ucapnya.
Bagaimana dengan Kompol Tuti? Selama persidangan, jaksa membeberkan ulah Kompol Tuti. Seperti meminta Azhari mengeluarkan biaya Rp 300 ribu untuk penggunaan telepon genggam selama berada di dalam Rutan Polda NTB.
"Dalam keterangannya, saksi Azhari mengatakan bahwa uang Rp 300 ribu diberikan kepada terdakwa, dan diminta untuk diam-diam dan jangan sampai kelihatan kamera CCTV ketika menggunakan HP (
handphone)," ujar jaksa.
Setelah mendapatkan izin dari terdakwa Kompil Tuti, saksi Azhari dipindahkan ke kamar tahanan di lantai dua. Namun karena kurang betah dengan kondisi kamar tahanannya yang baru, saksi Azhari meminta dikembalikan ke kamar tahanan di lantai satu.
"Untuk pindah kamar tahanan ini, saksi Azhari kembali diminta terdakwa membayar Rp 500 ribu. Uang tersebut kemudian diberikan saksi Azhari di ruang kerja terdakwa di lantai dua," ucap jaksa.
Adapun Dorfin mengaku unutk mendapatkan karpet di sel, ia diminta membayar Rp 2 juta.
"Semua di sana mahal, makanan juga mahal. Untuk karpet saja, saya harus bayar Rp 2 juta," kata Dorfin.
Akhirnya, PN Mataram menyatakan Kompol Tuti bersalah dan dikenai pasal korupsi.
 Kompol Tuti (Antara Foto) |
"Menyatakan terdakwa Tuti Maryati S Sos telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana 'korupsi'. Menjatuhkan pidana oleh karena itu kepada terdakwa tersebut dengan pidana penjara selama 3 tahun serta pidana denda sebesar Rp 50 juta dengan ketentuan apabila terdakwa tidak membayar pidana denda tersebut maka harus diganti dengan pidana Kurungan selama 3 bulan," ujar ketua majelis PN Mataram, NTB Sri Sulastri.
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini