) kini telah berganti. Meski begitu gelombang aksi demonstrasi di depan Gedung DPR masih terus berlanjut. Pelajar dan mahasiswa masih menyuarakan sejumlah tuntutan kepada wakil rakyat, utamanya terkait Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang baru.
Konsentrasi massa mahasiswa dan pelajar bukan hanya terjadi di Jakarta. Di sejumlah daerah di Indonesia, seperti Solo, Semarang, Riau, Medan, dan Makassar demonstrasi juga menyasar Gedung DPRD setempat.
Sumber detikcom di Mabes Polri mengatakan, aksi demonstrasi diprediksi akan terus berlanjut hingga pelantikan Jokowi sebagai presiden untuk periode kedua pada 20 Oktober mendatang. Isu yang akan diusung pun tetap sama soal revisi UU KPK.
Sumber tersebut menukil dokumen hasil perkiraan intelijen cepat yang dikeluarkan Biro Analisis dari Badan Intelijen Keamanan (Baintelkam) Mabes Polri, yang menyebutkan, eskalasi dan konstelasi rangkaian aksi unjuk rasa mahasiswa akan semakin membesar. Hal ini berpotensi mengganggu jalannya pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih hasil Pemilu 2019.
Prediksi Baintelkan, lanjut sumber tersebut, aksi unjuk rasa berpotensi masih terus terjadi sampai tuntutan dipenuhi dengan ancaman semakin tinggi. Bakal banyak muncul solidaritas mahasiswa untuk menjadi martir yang akan menyulut gelombang unjuk rasa yang lebih besar.
Sinyal upaya mengganggu pelantikan presiden lewat maraknya aksi unjuk rasa yang cenderung rusuh sebelumnya sempat diutarakan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto. Dia menyebut para perusuh itu mencoba menggagalkan pelantikan presiden dan wakil presiden.
"Saya kira yang dihadapi kelompok yang mengambil alih demo mahasiswa itu bukan murni untuk mengoreksi kebijakan lain, tapi telah cukup bukti mereka ingin menduduki DPR dan MPR agar DPR tidak dapat melaksanakan tugasnya dalam arti DPR tidak dapat dilantik dan lebih jauh lagi tujuan akhirnya menggagalkan pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih," kata Wiranto saat jumpa pers di kantor Kemenko Polhukam, Jakarta Pusat, Kamis (26/9/2019).
Wiranto pun menyesalkan aksi mahasiswa yang elegan ditunggangi kepentingan lain. Menurut Wiranto, massa perusuh melakukan tindakan brutal dengan menyerang aparat keamanan. "Kita sangat menyesalkan demonstrasi yang konstruktif, yang bernuansa elegan itu kemudian diambil alih untuk demonstrasi yang tidak lagi mengarah apa yang telah dijawab pemerintah dan DPR, demo yang brutal yang saya kira bukan demonstrasi karena dilakukan para perusuh melawan petugas melempar batu, meluncurkan kembang api, panah-panah api kepada petugas, bergerak di malam hari," ujar dia.
Pengamat intelijen Soleman Ponto yang ditemui detikcom, Selasa (1/10/2019), mengatakan, aksi unjuk rasa mahasiswa memang terindikasi dimanfaatkan kelompok yang sejak Pilpres 2019 tidak suka dengan pemerintah. "Lawan politik Jokowi akan terus berupaya menggoyang pemerintah. Tapi jangan lupa pemerintah kan tidak tinggal diam. Buktinya hari ini pelantikan DPR jalan. Kalau dibilang pemerintah saat ini sabar. Tapi bukan berarti pemerintah lemah," ujar Soleman.
Pada awalnya, lanjut mantan Kepala Badan Intelijen Strategis (BAIS) itu, mahasiswa ingin menyuarakan kegusarannya tentang UU KPK yang baru serta RUU Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Namun aksi mereka kemudian ditunggangi kelompok-kelompok yang anti-pemerintah. Indikasinya, meski RUU KUHP batal disahkan DPR Periode 2014-2019, namun aksi unjuk rasa masih terus terjadi.
"Perkiraan saya aksi unjuk rasa hanya akan terjadi sampai 20 Oktober. Habis itu mau apalagi mereka? Orang-orangnya itu-itu aja," ungkap purnawiran TNI Angkatan Laut dengan pangkat Laksamana Muda itu tanpa menyebut siapa saja orang-orang tersebut.
 Foto ilustrasi (Grandyos Zafna/detikcom) |
Menurutnya, pasca rekonsiliasi Prabowo-Jokowi tidak lantas membuat para pendukung ikut serta. Di level bawah kelompok Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) serta kelompok Islam yang tidak suka Jokowi masih terus bergerilya memusuhi Jokowi dan pendukungnya. Bukti kelompok-kelompok tersebut masih menyimpan permusuhan dengan ditangkapnya enam orang yang diduga merancang kerusuhan dalam sebuah aksi demo bertema Mujahid 212.
Enam orang itu ditangkap di Jalan Maulana Hasanudin, Kecamatan Cipondoh, Tangerang Kota, Sabtu (28/9/2019). Disebut-sebut mereka telah menyiapkan bahan peledak berupa bom molotov. Salah satu pelaku yang ditangkap adalah pensiunan perwira tinggi TNI Angkatan Laut (AL) bernama Laksda (Purn) Sony Santoso, yang pernah tercatat sebagai calon legislatif (caleg) dari Partai Berkarya. Partai besutan Tommy Soeharto tersebut di Pilpres 2019 mendukung pasangan Prabowo-Sandiaga Uno.
Selain sebagai caleg, Sony juga pernah bertugas di Kementerian Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenkopolhukam). Dia bertugas sebagai Asisten Deputi bidang Kesatuan Bangsa saat Luhut Binsar Pandjaitan menjabat Menkopolhukam. Tersangka lain adalah dosen Institut Pertanian Bogor (IPB) Abdul Basith (44), yang memerintahkan tersangka lain, JAF, AL, NAD, dan SAM, untuk membuat bom Molotov yang akan digunakan di tengah aksi Mujahid 212.
Abdul Basith merekrut 2 orang atas nama S dan OS. "S dan OS ini perannya dia mencari orang yang memiliki kemampuan untuk membuat bom, ini yang S ya. Dari S tersebut kemudian direkrut empatorang atas nama tersangka JAF, AL, NAD dan SAM. Mereka-mereka ini memiliki kualifikasi membuat bom sekaligus merangkap sebagai eksekutor," terang Karo Penmas Divisi Humas Mabes Polri Brigjen Dedi Prasetyo di Mabes Polri, Jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan, Selasa (1/10/2019).
Atas perbuatannya itu Abdul Basith dijerat dengan sejumlah pasal, salah satunya Pasal 1 ayat (1) UU Darurat Nomor 12 Tahun 1951 atas tindak pidana membuat, menguasai, membawa, menyimpan, mengangkut, menyerahkan dan atau berusaha menyerahkan bahan peledak. "Undang Undang Darurat, KUHP 169, ada beberapa pasal yang diterapkan di sini sesuai dengan perbuatan masing-masing di sini cukup banyak, baik pasal KUHP maupun pasal-pasal terkait menyangkut masalah Undang Undang Darurat kepemilikan terhadap bahan peledak," jelas Dedi.
 Foto: Massa mahasiswa dan polisi (Rahel Narda/detikcom) |
Dengan terbongkarnya rencana aksi Sony Santoso, Abdul Basith dan kawan-kawan, ujar Soleman, membuktikan jika residu pilpres masih ada. Lawan politik Jokowi masih tidak menghendaki Jokowi menjadi presiden lagi.
Terkait dugaan masih adanya residu pertarungan pilpres di tengah aksi mahasiswa yang dikatakan Soleman, Ketua DPP Partai Berkarya Vasco Ruseimy menampiknya. "Pak Sony Santoso itu bukan pengurus Partai Berkarya. Dia hanya caleg yang pernah daftar. Kalau mau dikaitkan ini residu partai enggak lah, kasian malah yang bilang ini residu pilpres. Jadi dia(Soleman)yang gak move on-move on sebetulnya," tangkis Vasco.
Dia pun meminta aksi-aksi demo sekarang ini jangan disangkut pautkan dengan pilpres. "Ini pilpres udah kelar kok. Ini orang yang ngomong begitu justru orang yang nggak bisa meninggalkan residu pilpresnya. Justru mereka lah yang mencari-cari residu itu di kubu kita," imbuhy Vasco.
Menurutnya, aksi unjuk rasa yang terjadi beberapa hari ini murni gerakan mahasiswa gerakan rakyat yang menolak RUU KUHP yang penuh kontroversi serta UU KPK yang baru. Belum lagi para pendemo melihat pemerintah tidak serius menyikapi peristiwa kemanusiaan yang terjadi di Wamena, Papua.