Sebagaimana diketahui, Dandhy ditangkap oleh polisi pada hari Kamis (26/9) pukul 23.00 WIB di kediamannya. Dandhy bercerita, saat itu dirinya sedang makan sekitar pukul 22.30 WIB. Belum sampai tandas makanannya, dia mendengar orang yang mengetuk pintu.
"Jadi saya baru pulang dari kantor WatchdoC kira-kira jam 22.30 WIB. Dan sampai di rumah jam 23 kurang. Terus ya, seperti biasa saya laper dan makan. Nah ketika makan baru 1/4 lah kira-kira terus gerbang depan sudah ada yang mengetuk keras. tadinya aku pikir itu tetangga karena ya, tetangga tahu saya biasa pulang jam 01 atau 02 itu biasa. Saya pikir oh itu tetangga. Nah terus yang kedua kok makin keras (ketukannya), nah terus istri saya jadi bangun dan kemudian teriak 'woy itu buka lah pintunya'," kata Dandhy saat berbincang dengan detikcom pada Senin (30/9/2019).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dandhy mengatakan, saat itu beberapa pria tersebut memperkenalkan diri sebagai polisi dari Cyber Crime Polda Metro Jaya. Mereka lantas menunjukkan tweet Dandhy yang dikicaukan lewat akun @Dandhy_Laksono.
"Waktu itu Pak polisi memperkenalkan diri, dari Cyber Crime Polda Metro. Kemudian saya ajak masuk dan polisi tersebut langsung bertanya, 'Apa betul ini tweet bapak?' Saya cek, 'iya betul' kata saya. Terus dia tanya lagi 'di tweet dari mana ini?' saya bilang harus cek lagi karena saya tidak ingat apakah dari HP atau laptop karena saya biasanya ngetweet dari dua alat itu," ujarnya.
Dandhy kemudian mempertanyakan proses penangkapannya. Pasalnya, dia belum pernah dimintai keterangan sekali pun. Polisi justru langsung menyodorkan surat penangkapan atas nama Dandhy.
Dandhy mempermasalahkan isi surat penangkapan itu berbeda dengan pasal yang disangkakan padanya. Kendati demikian, Dandhy tetap bersikap kooperatif. Dia bersiap-siap untuk ikut bersama polisi.
"Di surat penangkapan itu ternyata bukan tentang hoax tapi tentang pasal ujaran kebencian SARA. Terus saya bilang ke polisi itu ini surat penangkapannya tentang hoax tapi pasalnya ujaran kebencian SARA, nah polisinya tidak bisa jawab. Nah karena polisinya tidak bisa jawab saya terus kan 'tapi saya ditangkap?'' kata polisi 'iya betul'. Nah terus saya bilang, saya harus bersiap dulu," ujarnya.
Selama proses penangkapan, Dandhy menilai polisi sudah bersikap sopan dan tidak kasar. Dandhy bahkan diizinkan untuk berkemas di kamarnya, tanpa pengawalan. Dandhy juga diizinkan untuk menunggu pengacaranya kurang dari 30 menit.
"Mereka datang dengan sopan tidak kasar, karena saya dibiarkan masuk ke kamar tanpa dikawal, atau tanpa di tunggui, pintu kamar juga saya tutup mereka tidak masalah. Dari luar kamar salah seorang polisi kemudian berkata 'Handphonenya dibawa saja Pak', Tapi saya bilang 'ini sebaiknya saya menunggu pengecara juga' terus mereka tanya 'pengacaranya dimana?'' Saya bilang masih di jalan. Polisi kemudian menjawab 'kalau kurang dari 30 menit kita tunggu lah,'" kata Dandhy sembari menirukan ucapan polisi.
Istri Dandhy, telah menghubungi beberapa advokat di YLHBI. Namun, pada akhirnya Dandhy berangkat ke kantor Polda Metro Jaya tanpa didampingi oleh pengacaranya. Pengacaranya tak kunjung datang.
"Iya istri saya langsung menghubungi teman YLBHI, yakni Mbak Asfinawati. Dan teman-teman kantor juga dihubungi. Setelah sepuluh menitan polisi meminta saya untuk ikut saja ke Polda sambil menunggu pengacara saya di sana. Sebelum berangkat istri saya sempat minta nomor HP polisi yang membawa saya karena khawatir soalnya saya dibawa tanpa pengacara," ungkapnya.
Sesampainya di Polda Metro Jaya, Dandhy diperiksa oleh penyidik. Dia dicecar dengan beberapa pertanyaan terkait dengan isi tweet yang dia dikicaukan itu. Termasuk motif dalam tweet tersebut. Polisi hanya membatasinya menjelaskan satu tweet saja, walaupun satu tweet itu merupakan bagian dari satu utas tweet. Sehingga, menurutnya, satu tweet itu ada dalam satu konteks rangkaian cerita.
"Tapi yang ditanyakan itu apa motifnya, apa maksudnya tweet ini, ya saya tidak bisa menjelaskan lebih jauh apa maksud tweetnya karena polisi hanya membatasi pada satu tweet. Jadi saya hanya bisa menjelaksan tweet yang pertama dari konteks yang ada saja. Padahal tweet itu bisa terjelaskan dengan sendirinya kalau melihat 4 tweet lainnya. Tapi karena polisi menghindari 4 tweet lainnya saya juga jadi bingung. Akhirnya kami sempat lama di situ berkutat soal kata. Misalnya kata 'angkut' ini maksudnya apa, begitu. Ya saya tidak menjelaskan karena 'angkut' kalau mau dijelakan lebih jauh ada dalam link berita yag saya share. Soal kata 'aparat' juga sama begitu, baru bisa terjelaskan konteksnya jika dibawa tweet yang lain," jelas Dandhy.
Dia pun menilai dasar polisi mempersoalkan tweetnya tidak relevan. Sebab, menurutnya, tweet tersebut muncul lima jam setelah kerusuhan Wamena. Maka, menurutnya, secara logis tweet itu tidak bisa dianggap sebagai pemicu kerusuhan. Dandhy menegaskan, dirinya tak pernah menge-tweet ujaran yang mengandung SARA.
"Bagi saya ini nggak ada dasar polisi mempersoalkan tweet saya. Soalnya saya ngetweet 5 jam setelah kerusuhan Wamena. Kan pasalnya juga pasal hoax tapi pasal ujaran kebencian mengandung SARA. Sementara saya tidak ngetweet soal misalnya 'orang Papua bunuh Minang' itu gak ada, atau 'orang Papua bunuh Bugis' itu nggak ada," sambungnya.
Usai dicecar dengan sejumlah pertanyaan, Dandhy diperbolehkan untuk pulang. Ada sejumlah kawan-kawan organisasinya seperti di Kontras dan Imparsial yang siap menjaminnya. Termasuk politisi PDIP, Budiman Sudjatmiko. Meskipun begitu, hal ini tak menggugurkan status Dandhy sebagai tersangka ujaran kebencian.
Dandhy diduga melanggar Pasal 28 ayat (2), jo Pasal 45 A ayat (2) UU No 19 tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan/atau Pasal 14 dan Pasal 15 No.1 tahun 1946 tentang hukum pidana.
Dandhy mengaku stigma sebagai provokator pemicu kerusuhan Wamena itu mengganggu aktivitas sehari-harinya. Bahkan dia merasa seperti dikeroyok di arena terbuka dan karakternya dibunuh, sedangkan proses hukumnya seolah-olah tak terlalu penting.
"Jelas ya (mengganggu aktivitas). Stigma atau stempel bahwa saya provokator kerusuhan Wamena itu menempel di jidat saya. Orang tidak punya beban untuk melabeli karena sudah resmi. Iya kan. 'oh ini benar orang ini menghasut dan SARA'." ujarnya.
"Jadi saya merasa seperti sedang dilemparkan ke arena terbuka untuk di keroyok ramai-ramai hanya dengan penetapan tersangka. Jadi sepertinya proses hukumnya tidak terlalu penting tapi yang penting adalah membunuh karakter saya. karena saya seperti diumpankan ditengah kerumunan gitu, untuk di bully dipersalahkan, di fitnah ramai-ramai. Bahwa saya provokator Papua," lanjut Dandhy.
Kendati begitu, Dandhy menyatakan pribadinya tidak berubah. Hanya saja, kini dia memilih untuk lebih cooling down (tenang) sesuai anjuran dari rekan penasehat hukumnya, sembari terus mengikuti proses hukum dengan baik. Namun, dia keberatan dengan opini liar yang mengesankan dirinya seolah-olah sebagai provokator. Menurutnya, hal ini berkaitan dengan keselamatannya.
"Menurut saya yang urgent yah demi keselamatan saya dan kelurga karena hoaks yang sudah sedemikian luar biasa tapi yang aku butuhkan dari teman-teman media semua adalah meluruskan opini publik yang sudah liar bahwa saya provokator, karena itu menyangkut keselamatan gua dan keluarga gua," katanya.
Sementara itu, sebelumnya kuasa hukum Dandhy, Alghiffary Aqsa, menyebut, cuitan Dandhy yang dipersoalkan ada 1. Cuitan tersebut dipublikasikan Dandhy lewat akun @Dandhy_Laksono pada 22 September. Berikut isinya:
JAYAPURA (foto 1)
Mahasiswa Papua yang eksodus dari kampus-kampus di Indonesia, buka posko di Uncen. Aparat angkut mereka dari kampus ke Expo Waena. Rusuh. Ada yang tewas.
WAMENA (foto 2)
Siswa SMA protes sikap rasis guru. Dihadapi aparat. Kota rusuh. Banyak yang luka tembak.
Halaman 2 dari 3
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini