"Seharusnya presiden menepati komitmen antikorupsinya dan mendengar aspirasi publik yang selama ini sangat kencang bahwa KPK sedang diperlemah. Dan presiden harus hadir untuk menyelamatkan KPK," kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana kepada wartawan, Selasa (1/10/2019).
Dia mengatakan penerbitan perppu adalah hak prerogatif presiden. Kurnia mengatakan penerbitan perppu pun sudah memenuhi unsur kepentingan mendesak.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, dia mencatat ada tiga alasan UU KPK yang baru saja disahkan harus ditolak. Pada poin pertama, dia mengatakan UU KPK secara formil bermasalah.
"Pertama, kita sedari awal memang menolak pengesahan dari revisi UU KPK. Pertama, dari sisi formil yang bermasalah karena tak masuk Prolegnas 2014-2019 dan pada saat pengesahan paripurna tidak dihadiri kuorum anggota DPR RI," ucap dia.
Alasan kedua, lanjutnya, pasal-pasal yang disepakati DPR dan pemerintah akan memperlemah KPK. UU KPK yang baru juga mengurangi kewenangan KPK dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
"Ketiga, terkait tidak ada pelibatan KPK dan publik dalam pembahasan revisi UU KPK. Padahal KPK adalah lembaga yang akan menjalankan amanat UU. Harusnya KPK dilibatkan perumusan dari awal. Hal ini terkonfirmasi saat pimpinan KPK menyatakan bahwa benar KPK tak pernah dilibatkan dalam pembahasan," tambahnya.
Halaman 2 dari 2
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini