, pasukan Kujang II dari Kodam Siliwangi menggerebek sebuah rumah di kawasan Bendungan Hilir, Jakarta. Tanpa banyak basa-basi, bayonet yang terpasang di ujung senjata menghajar paha kanan Abdul Latief. Latief saat itu menjabat sebagai Komandan Brigade Infantri I/Djaja Sakti, Kodam V/Djaja dengan pangkat kolonel.
Tak hanya itu, sebutir peluru yang dilepaskan dari jarak dekat menghancurkan lutut kiri perwira menengah itu. "Mereka sudah kembali membidik dan siap menghabisi saya. Saya berteriak-teriak sambil mengerang kesakitan, tembak saja, tembak saja.. biar aku mati," ujar Latief menceritakan kembali kisah penangkapannya seperti yang dituliskan Julius Pour dalam buku G30S Fakta atau Rekayasa.
Latief, salah seorang gembong G30S selain Letnan Kolonel Untung Syamsuri itu diseret menuju jip militer Gaz yang terparkir di mulut gang dengan alas daun pintu rumah. Ia pingsan akibat rasa sakit yang luar biasa dan baru tersadar saat berada di kamar operasi Rumah sakit Pusat Angkatan Darat. Setelah operasi, Latief dibawa ke ruangan Asisten Intelijen di Kodam V/Djaya untuk diinterogasi.
Penjara Salemba kemudian jadi kediamannya. Ia disekap dalam sel isolasi seluas dua kali tiga meter. Luka-lukanya membusuk terkena infeksi berat akibat tak dirawat dengan baik. Hampir 10 tahun lamanya Latief berada dalam sel isolasi, keluarganya hanya diizinkan membesuk satu kali dalam setahun. Vonis pengadilan militer baru dijatuhkan pada dirinya 17 tahun setelah tertangkap di Bendungan Hilir.
Abdul Latief perwira keturunan Madura. Ia dilahirkan pada 27 Juli 1926. Jelang meletusnya Perang Pasifik, ia bersama sejumlah kawannya diwajibkan Belanda ikut wajib militer untuk menghadapi serangan Dai Nippon. Mereka berlatih di Magetan lalu ditugaskan di Ciwidey dan Soreang, Bandung Selatan. Belum sempat bertempur, Belanda sudah bertekuk lutut. Ia pun sempat ditahan Jepang di Batujajar lalu dipindahkan ke Kamp Cimahi.
Setelah bebas dari tahanan, Latief menjalani pelatihan Seinendan di Pusat Latihan Pemuda Chu O Seinen Kun Ren, Jakarta. Setelah revolusi meletus, ia selalu berada di garis depan sejumlah medan tempur. Mulai dari November 1945 di Surabaya kemudian bergerilya di Front Selatan Jawa Timur. Latief lalu dipromosikan ke Yogyakarta, untuk menjabat Kepala Staf Operasi Brigade IV yang wilayah tugasnya meliputi Wonosobo-Temanggung.
Bertugas di Yogyakarta membuat Latief bertemu Soeharto. Ia termasuk perwira yang memainkan peranan kunci saat Serangan Umum 1 Maret 1949. Latief mencatat dalam pleidoinya, ia diperintahkan
Soeharto menyerang daerah Malioboro saat 1 Maret 1949. Latief dan Soeharto pun bersama-sama melakukan operasi militer di Makassar saat menumpas pemberontakan Andi Aziz pada 1950.
Soeharto secara khusus juga pernah dua kali meminta Latief membantunya. Pertama kali saat Soeharto menjabat sebagai Komandan Resimen XIV di Salatiga, Jawa Tengah. Latief diminta "menertibkan" Batalyon 408 yang mayoritas anggotanya warga keturunan Madura asal Jember, Situbondo, Bondowoso, dan Banyuwangi. "Saya bisa bahasa Madura, sehingga ditugaskan membantu mengendalikan mereka," ujar Latief dalam G30S Fakta atau Rekayasa.
Kedua, semasa persiapan penyerbuan Irian Barat pada awal 1962, Soeharto yang juga Panglima Komando Operasi Mandala meminta Latief menjabat salah satu Komandan Brigade Para. Namun Latief lebih dulu menerima perintah masuk Sekolah Staf dan Komandan Angkatan Darat (Seskoad). "Latief sejak di Yogya memang selalu di bawah Soeharto," ujar pengamat militer, Aris Santoso pada detikcom.
Latief sendiri mengaku anak buah langsung Soeharto sejak bertugas di Yogyakarta. Nomor Registrasi Pokok (NRP) keduanya berurutan. "NRP saya 10685, sedangkan NRP Pak Harto 10684, jadi saya selalu menempel di belakangnya. Tahun 1948 Pak Harto dengan pangkat Letkol memimpin sektor Purworejo dan Gombong. Sementara saya, dengan pangkat Mayor di Wonosobo dan Temanggung. Wilayah tugas kami menempel," ujar Latief.
 Foto ilustrasi: Soeharto (Sudrajat/detikcom, repro dari buku Pak Harto untuk Indonesia) |
Tak hanya soal kerjaan, Latief juga mengaku hubungan antar keluarga dengan Soeharto sangat akrab. Saat anak Latief bernama Agung Prabowo disunat, Soeharto dan Tien datang ke acara syukuran. "Malahan Agung sempat dipangku Ibu Tien," kata Latief. "Begitu juga ketika Sigit disunat, saya dan istri sowan ke sana."
Pertengahan tahun 1965, Latief dijadwalkan mutasi ke Sumatera Utara. Ia rencananya dipromosikan untuk memegang jabatan Panglima Komando Tempur I menggantikan Brigadir Jenderal Kemal Idris. Namun proses kepindahannya berlarut-larut. Garis tangannya kemudian berubah setelah bersama-sama dengan Letkol Untung dan Panglima Komando Tempur II Brigjen Mustafa Sjarif Soepardjo merancang G30S.
Sebanyak enam jenderal dan satu perwira pertama Angkatan Darat diculik dan tewas dalam peristiwa G30S tersebut. Setelah malam penculikan itu, pagi 1 Oktober 1965 Letkol Untung mengumumkan pembentukan Dewan Revolusi lewat corong Radio Republik Indonesia (RRI). Dalam pengumuman disebutkan bahwa Dewan Revolusi adalah tindak lanjut dari G30S menyusul adanya rencana kudeta Angkatan Darat pada Presiden Sukarno yang akan dilaksanakan pada 5 Oktober 1965.
Latief secara terbuka mengaku ikut gerakan tersebut untuk menyingkirkan jenderal anti Sukarno. Ia berkilah keterlibatannya itu bukan untuk mencari pangkat atau kedudukan. "Saya ingin ikut membersihkan Angkatan Darat dari jenderal-jenderal yang nggak bener.
Saya tidak mau pasrah, hanya diam saja menunggu sampai mereka lebih dulu bergerak," ujar perwira menengah kelahiran Surabaya itu.
"Sudah menjadi suatu rahasia umum, khususnya di kalangan Angkatan Darat, ada sekelompok Jenderal berkata ya di depan Bung Karno, tetapi bilang tidak di belakangnya. Sejumlah Jenderal bilang setuju di depan Bung Karno, tetapi mereka itu lantas menjegal, mensabot, menteror seluruh kebijakan presiden." Latief juga menuding kelompok jenderal itu kerja sama dengan Amerika Serikat menyusun kekuatan militer untuk menentang dan ambil alih kekuasaan Bung Karno.
Dalam persidangan Letkol Untung di Mahkamah Militer Luar Biasa, oditur menyebut rumah Latief menjadi tempat tiga rapat penting terkait tragedi 1965. Pertama, rapat berlangsung pada 22 Agustus 1965. Kedua, rapat pada 29 Agustus 1965 dan terakhir rapat pada 6 September 1965. "Kesemuanya pada malam hari," ujar Oditur militer Letkol Iskandar seperti tercatat dalam buku Gerakan 30 September di Hadapan Mahmilub: Perkara Untung.
Nasib Latief berbeda dengan Untung. Mahmilub memvonis hukuman mati Untung pada 18 Maret 1966 dan kemudian dieksekusi dalam tahun yang sama. Sementara Latief harus mendekam di sel isolasi. Baru pada 1978 kasusnya diajukan ke Mahkamah Militer Tinggi (Mahmilti). Pada 6 Juni 1978, ia mengajukan permohonan untuk mengajukan saksi meringankan dalam persidangan. Tak tanggung-tanggung saksi itu adalah Presiden Soeharto. Namun permintaan itu ditolak hakim dengan alasan tak relevan.
Menurut Latief, Soeharto terlibat langsung peristiwa G30S. "Karena beliau telah mengetahui lebih dahulu akan adanya peristiwa G30S. Baik mengenai info Dewan Jenderal maupun mengenai gerakan, di mana tertuduh telah melaporkan pada beliau sebagai atasan, sekalipun bukan atasan langsung," ujar Latief dalam pidato pembelaannya di Mahmilti yang kemudian dibukukan dengan judul Pledoi Kol. A. Latief Soeharto Terlibat G30S.
"Kalau saya dituduh sampai mengakibatkan matinya para Jenderal dari anggota Dewan Jenderal itu, justru Jenderal Soehartolah yang harusnya bertanggung jawab, karena tidak mencegahnya," ujar Latief. "Agar Jenderal Soeharto diajukan sebagai saksi di muka sidang ini, dengan maksud untuk menjernihkan suasana, dan untuk membuka tabir yang gelap selama ini."
Malam 30 September 1965, Latief memang menemui Soeharto yang berada di RSPAD. Anak laki-laki bungsu Soeharto, Hutomo Mandala Putra, harus dirawat karena kena siraman sup panas. Latief yang menganggap Soeharto sebagai jenderal loyalis Bung Karno menceritakan rencana penculikan itu. "Pak, malam ini kami beberapa kompi pasukan akan bergerak untuk membawa para jenderal anggota Dewan (Revolusi) ke hadapan yang mulia presiden," ujar Latief.
Soeharto sendiri menurut Latief hanya diam dan manggut-manggut. Pertemuan itu sendiri tak dibantah Soeharto. "Kira-kira pukul 10 malam saya sempat menyaksikan Kolonel Latief berjalan di depan zaal tempat Tomy dirawat," ujar Soeharto dalam dalam autobiografi Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya yang disusun Ramadhan K.H.
Namun menurut Soeharto laporan tersebut tidak ada hubungannya dengan dirinya. "Semua tahu, selaku Komandan Brigade Djaja Sakti, atasan langsungnya sekaligus tempatnya melapor adalah Panglima Kodam V/Djaja. Saya sebagai Panglima Kostrad tidak punya hubungan struktural dengan dirinya. Oleh karena kesatuannya buka slagorde Kostrad. Lantas, untuk apa dia harus melapor pada diri saya?"
Soeharto pun menuduh Latief pernah bergabung dengan laskar Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) yang berideologi kiri. "Setelah peristiwa Madiun, dia (Latief) bisa menyusup ke Jawa Tengah, lantas menggabungkan diri kepada TNI..," kata Soeharto. Tuduhan ini kemudian dipakai oditur dalam Mahmilti. Latief pun disebut terlibat dalam Peristiwa Madiun 1948. Meski kemudian dibantah oleh Latief, karena jauh sebelum Peristiwa Madiun meletus, ia sudah bertugas di Jawa Tengah.
Aris Santoso menyebut Soeharto memang berusaha mengingkari kedekatannya dengan Abdul Latief. "Logikanya kalau tidak ada keperluan untuk apa Latief melaporkan pada Soeharto," ujanya. Latief akhirnya dijatuhi hukuman seumur hidup. Ia dibebaskan ketika rezim Soeharto tumbang pada 6 Desember 1998 dan meninggal dunia April 2005 akibat penyakit paru-paru yang dideritanya.