Gugatan itu diajukan oleh sejumlah mahasiswa. Yaitu:
1. Mahasiswa FH UI, M Raditio Jati Utomo.
2. Mahasiswa FH UKI, Deddy Rizaldy.
3. Mahasiswa FH Unpad, Putrida Sihombing.
4. Mahasiswa GH Untar, Kexia Goutama.
5. Mahasiswa UPH Jovin Kurniawan.
6. Mahasiswa FH UI, Agun Pratama.
7. Mahasiswa FH UI, Naomi Rehulina Barus.
8. Mahasiswa FH UI, Agustine E Noach.
9. Mahasisawa FH Atmajaya, Elizabeth.
10. Mahasiswa FH Atmajaya, Tommy.
11. Mahasiswa FH Atmajaya, Obey Yoneda.
12. Mahasiswa FH Atmajaya, Zanson Silalahi.
13. Mahasiswa FH UPN, Adam Ilyas.
14. Mahasiswa FH Untar, Dylan A Ramadhan.
15. Politisi, Timothy Ivan Triyono.
16. Warga Cilacap, Suhanto.
17. Wiliam Yangjaya
18. Mahasiswa FH UKI, Eliandi Hulu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jadi harus ada kepastian. Jadi harus ada kepastian dulu. Mau melakukan pengujian terhadap undang-undang yang mana ke Mahkamah Konstitusi? Karena bagaimana pun juga kan tidak mungkin kemudian Mahkamah Konstitusi memutus putusannya titik titik titik kan begitu, kan harus ada kepastian," kata hakim konstitusi Enny Nurbaningsih dalam sidang di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Senin (30/9/2019).
Menurut Enny, bila undang-undang masih belum mempunyai nomor maka dia belum mempunyai kekuatan mengikat. Kekuatan mengikat itu setelah kemudian dia diundangkan sehingga keluarlah lembaran negara
"Kemudian Petitumnya si Pemohon 'Untuk merumuskan norma baru'. Padahal pasalnya adalah soal transparansi dalam proses, tetapi kemudian diminta. Lah, kalau diminta ini kan berarti kedudukan Mahkamah Konstitusi sudah berubah, tidak lagi sebagai negative legislator tapi sudah positive legislator. Bahkan merumuskan norma baru, apakah boleh dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi? Ya, seperti itu," ujar Enny. (asp/rvk)