"Beberapa cara represif tidak sejalan dengan aturan internal Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 8/2009. Sebelumnya, polisi sudah keluarkan Perkap tentang pengendalian massa. Nah, konteks pengendalian massa ini yang memang terjadi dinamikanya sejak kemarin itu tidak mampu dikelola oleh kepolisian," ujar Manager Kampanye Amnesty International Indonesia, Puri Kencana Putri, saat jumpa pers di gedung LBH, Jakarta Pusat, Rabu (25/9/2019).
Puri mengatakan polisi seharusnya mengambil langkah negosiasi ketika suasana massa sudah mulai mencekam. Namun, menurutnya, polisi malah langsung mengeluarkan tindakan dengan menyemprotkan water cannon dan gas air mata.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kemarin memang terlihat standar-standar seperti perubahan dari massa status hijau. artinya masih tertib, kemudian eskalasi masuk menjadi massa yang dapat dikategorikan sebagai warna kuning yang itu memang harus ada kebutuhan negosiasi dengan para demonstran. Tapi polisi malah masuk kepada pengelolaan massa untuk berstatus warna merah," ujarnya.
"Sehingga itu harus kita pertanyakan apa ukuran dari Kapolres Jakarta Pusat sebagai komandan kompi di sana yang mengawal kepolisian dan Brimob mengambil status merah sehingga ada aksi penyemprotan water cannon dan pelemparan gas air mata," lanjut Puri.
Kondisi ini, menurut Puri, berbeda ketika polisi menangani aksi Bawaslu 21-23 Mei 2019. Meski sama-sama berujung ricuh, saat itu polisi masih melakukan negosiasi.
"Di sini penting karena kita melihat standar penanganan aksinya cukup jomplang ketika kita membandingkan aksi 21-23 Mei 2019 untuk memprotes hasil keputusan pemilu. Ada standar yang berbeda meski ujung-ujungnya berujung pada tindakan represif oleh pihak keamanan," katanya.
Simak juga video "Aliansi Mahasiswa Minta Pemerintah Usut Kekerasan dalam Demo":
(eva/fdn)