RUU KUHP dan Cerita KPK Minta Korporasi Bisa Dijerat Pidana

Bedah RUU KUHP

RUU KUHP dan Cerita KPK Minta Korporasi Bisa Dijerat Pidana

Andi Saputra - detikNews
Rabu, 25 Sep 2019 08:29 WIB
Kericuhan demo di DPR (lamhot/detikcom)
Jakarta - RUU KUHP meluaskan subjek pidana dengan mendefinisikan 'barang siapa' tidak hanya orang, tapi menjadi orang dan juga badan usaha/korporasi. Jauh sebelumnya, KPK juga meminta korporasi bisa dijerat pidana.

Berdasarkan draft RUU KUHP versi 15 September 2019 yang dikutip detikcom, Rabu (25/9/2019), tegas disebutkan 'setiap orang' adalah perseorangan dan korporasi.

"Setiap orang adalah orang perseorangan, termasuk korporasi," demikian bunyi Pasal 182.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dalam pasal 46 ayat 1 disebutkan korporasi merupakan subjek tindak pidana. Korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup badan hukum yang berbentuk perseroan terbatas, yayasan, koperasi, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau yang disamakan dengan itu, serta perkumpulan baik yang berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum atau badan usaha yang berbentuk firma, persekutuan komanditer, atau yang disamakan dengan itu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagi korporasi yang dinyatakan bersalah oleh pengadilan, maka bisa dikenakan pidana pokok dan pidana tambahan. Selain itu juga bisa dikenakan:

1. pembayaran ganti rugi;
3. perbaikan akibat Tindak Pidana;
3. pelaksanaan kewajiban yang telah dilalaikan;
4. pemenuhan kewajiban adat;
5. pembiayaan pelatihan kerja;
6. perampasan Barang atau keuntungan yang diperoleh dari Tindak Pidana;
7. pengumuman putusan pengadilan;
8. pencabutan izin tertentu;
9. pelarangan permanen melakukan perbuatan tertentu;
10. penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan Korporasi;
11. pembekuan seluruh atau sebagian kegiatan usaha Korporasi; dan
12. pembubaran korporasi.

"Dalam hal kekayaan atau pendapatan Korporasi tidak mencukupi untuk melunasi pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Korporasi dikenai pidana pengganti berupa pembekuan sebagian atau seluruh kegiatan usaha Korporasi," demikian bunyi Pasal 122 ayat 4.

Dalam Pasal 123 diatur tindakan yang dapat dikenakan bagi korporasi, yaitu:
1. pengambilalihan Korporasi;
2. pembiayaan pelatihan kerja;
3. penempatan di bawah pengawasan; dan/atau
4. penempatan Korporasi di bawah pengampuan.

Jauh sebelumnya, KPK sudah mewacanakan pidana korporasi tersebut. Akhirnya KPK melakukan pertemuan beberapa kali dengan Mahkamah Agung (MA) dan menghasilkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana oleh Korporasi.

"KPK berterima kasih kepada MA. Perma itu penting untuk pemberantasan korupsi. Bukan hanya untuk KPK, tapi juga Jaksa dan Kepolisian," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di gedung KPK, Jakarta, Rabu (28/12/2016).

Menurut Febri, dengan terbitnya Perma 13/2016, penegak hukum dan hakim di pengadilan memiliki standar dalam menangani indikasi korupsi yang melibatkan korporasi. Selain itu, lanjut Febri, penegak hukum dapat menelisik lebih jauh indikasi korupsi yang melibatkan perorangan sekaligus korporasi.

"Pertanyaan yang lebih mendasar apakah korporasi diuntungkan dari kejahatan tersebut. Dari sana ditentukan apakah orang saja atau korporasi juga," ucap Febri.

Dengan Perma itu, KPK sedikitnya telah menjerat 5 korporasi. Terakhir yaitu menetapkan PT Merial Esa sebagai tersangka. Penetapan tersangka ini hasil pengembangan kasus dugaan suap kepengurusan anggaran Badan Keamanan Laut ( Bakamla) untuk proyek pengadaan satelit monitoring dan drone dalam APBN-P Tahun 2016.




Simak juga video Water Cannon dan Gas Air Mata Paksa Mundur Mahasiswa dari Gedung DPR:

[Gambas:Video 20detik]

(asp/dnu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads