"Demokrasi Indonesia sekarang dalam menuju jurang kalau menurut saya. Semua RUU yang memaksa dan sangat urgen untuk disahkan, tidak disahkan," kata anggota Koalisi Perempuan Antikorupsi Anita Wahid di Jalan Wahid Hasyim, Jakarta Pusat, Minggu (15/9/2019).
Anita menilai RUU yang justru merepresi hak-hak warga negara justru buru-buru untuk disahkan. Menurut Anita, demokrasi di Indonesia tengah menuju kehancuran.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Anita menyoroti pasal-pasal di RKUHP yang, menurutnya, menghalangi kebebasan warga negara untuk bersuara. Menurutnya, demokrasi bukan hanya soal pemilu, tetapi lebih substansial.
"Demokrasi bukan hanya tentang prosedur yang kita lakukan, bukan tentang ingar-bingar datang ke TPS menitipkan suara. Demokrasi itu lebih substansial dari pasal-pasal yang tertera dalam RUU. Demokrasi adalah mengenai memperjuangkan nilai-nilai. Di dalam demokrasi itu ada nilai kemanusiaan, ada nilai kesetaraan, ada nilai keadilan, ada nilai persaudaraan, dan ada nilai pembebasan," ungkap pegiat jaringan Gusdurian ini.
Sekadar diketahui, gagasan menggulingkan KUHP peninggalan penjajah Belanda dimulai pada 1963. Hal itu terlontar dalam Seminar Hukum Nasional I di Semarang, salah satunya membahas RUU KUHP. Alhasil, perdebatan RUU KUHP menjadi perdebatan lintas rezim, lebih dari setengah Indonesia merdeka saat ini.
Diskursus RUU KUHP telah melintasi 7 presiden, yaitu Presiden Sukarno, Presiden Soeharto, Presiden BJ Habibie, Presiden Gus Dur, Presiden Megawati, Presiden SBY, dan Presiden Jokowi.
Perdebatan penting-tidaknya juga telah melampaui 19 menteri kehakiman (sekarang Menteri Hukum dan HAM), yaitu Sahardjo, Wirjono Prodjodikoro, Astrawinata, Oemar Seno Adji, Mochtar Kusumaatmadja, Mudjono, Ali Said, ismail Saleh, Oetojo Oesman, Muladi, Yusril Ihza Mahendra, Baharuddin Lopa, Marsilam Simanjuntak, Mahfud Md, Hamid Awaluddin, Andi Mattalata, Patrialis Akbar, Amir Syamsuddin, dan kini Yasonna Laolly. (azr/asp)