"Saya menulis tentang bagaimana inovasi dan strategi kita untuk memberantas korupsi," kata Firli setelah mengikuti proses penulisan makalah di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (9/9/2019).
Saat ditanya soal dugaan pelanggaran kode etik yang dituduhkan kepadanya, Firli menyatakan akan menjelaskannya lagi kepada Komisi III jika nanti ditanyakan kembali. Firli juga menegaskan tidak ada upaya pelemahan terhadap KPK.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Soal revisi UU KPK, Firli menyatakan akan mematuhinya. Dia mengaku belum bisa berkomentar banyak karena belum membaca UU tersebut.
"Revisi UU KPK itu adalah begini, kita harus lihat di dalam tata negara di dalam UUD 1945 bahwa kewenangan untuk membentuk UU maupun melakukan revisi UU, itu adalah hak pemerintah, legislatif, saya kira itu. Jadi kita patuhi itu aja. Saya nggak bisa komentar apakah itu harus atau tidak, karena saya belum baca UU-nya," ujarnya.
Salah satu yang menjadi sorotan dalam revisi UU KPK adalah adanya Dewan Pengawas untuk KPK. Menurut Firli, tidak ada masalah dengan Dewan Pengawas selama untuk memperkuat KPK.
"Sejauh untuk memperkuat KPK, saya rasa tidak ada masalah. Segala sesuatu untuk memperkuat KPK kita dukung," ucapnya.
Firli menolak berkomentar soal penyadapan yang harus seizin Dewan Pengawas. Ia mengaku akan menjawab jika sudah menjadi Komisioner atau Ketua KPK.
"Mohon maaf saya tidak ada kewenangan untuk menanggapi itu (soal penyadapan), oke? Nanti kalau saya udah Ketua KPK atau Komisioner KPK baru saya tanggapi ya. Kalau sekarang kan belum, sekarang kan masih calon kita. Kita kan sama, sebagai warga negara, cinta kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia, kita semua seluruh elemen masyarakat tidak bisa melepaskan diri untuk mewujudkan tujuan negara," ucapnya.
Soal Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) juga menjadi salah satu bahasan dalam revisi UU KPK. Firli menyatakan selama sesuai aturan hukum, hal itu tidak menjadi masalah.
"UU Nomor 8 Tahun 1981 menyatakan ya bahwa ada Pasal 109 ayat 2 itu dikatakan apa saja yang harus dihentikan penyidikan. Satu adalah karena perkara itu tidak cukup bukti, kedua itu karena tersangka meninggal dunia, ketiga karena bukan suatu peristiwa pidana. Itu aja yang kita pedomani. Jadi saya kira saya tidak mau menanggapi terkait dengan revisi UU, oke? Itu hak DPR," pungkasnya. (azr/idh)











































