Mafia Kala!

Kolom

Mafia Kala!

- detikNews
Rabu, 26 Okt 2005 14:48 WIB
Den Haag - Mereka itu Mafia Kala. Jangankan duit negara, rakyat keseluruhan pun kalau bisa mau diklethak (dimakan) habis. Disesep-sesep seperti makan tebu.Amboi! Ini hanya bisa terjadi di negara Indonesia dan negara-negara terbelakang di Afrika: duit rakyat miskin kaya dirampas paksa, antara lain melalui instrumen tarif BBM, kemudian triliunan duit yang disedot dari dompet rakyat itu dibagi-bagi untuk memanjakan para penyelenggara negara. Rakyat miskin dan jamaah kere, sebagai pemantas diberi bagian Rp 100.000 sebulan atas nama subsidi. Benarkah itu subsidi? Sim salabim!. Itu sesungguhnya duit mereka sendiri, yang disedot dari minyak tanah. Dari semula Rp 700 per liter menjadi Rp 3.000 (resmi), namun praktiknya bisa Rp 3.500 sampai Rp 5.000. Lebih dari 300 persen! Ada Rp2.300 lebih per liter duit para kere ini disedot. Sulapan Rp 100.000 itu adalah seucrit yang dikembalikan. Untuk mendapatkannya mereka harus berbunuh-bunuhan. Sementara mereka masih harus mengkompensasi dan memikul kenaikan harga-harga.Yang kelas menengah terjerembab menjadi miskin. Yang miskin jadi semakin kere, yang kere jadi superkere. Mereka megap-megap. Yang tak kuat memikul beban hidup memilih bunuh diri. Yang takut bunuh diri namun tak kuat menanggung beban hidup menjadi gila. Sebagiannya lagi untuk menutupi hajat berubah menjadi penjahat. Dari merampok hingga merobek perut wanita hamil hidup-hidup, demi merebut perhiasannya yang melekat. Sebaliknya dari duit yang disedot itu per satu orang wakil rakyat mengeruk Rp 10 juta per bulan. Masih belum kenyang, tahun depan akan dinaikkan lagi menjadi Rp 15 juta per bulan. Untuk presiden dan kaki tangannya alaihim (kepresidenan) dinaikkan 57% atau ada tambahan sebesar Rp 420 miliar. Itu semua adalah praktik kekejaman Mafia Kala yang nyata. Sebuah tragedi yang mengerikan. Bangsa ini dikemah-kemah (dikunyah-kunyah) gerombolan Kala. Menurut dongeng nenek saya dari mitologi Jawa, Kala ini adalah raksasa jahat nan rakus luarbiasa. Sampai-sampai rembulan pun mereka klethak juga. Orang Pekalongan menyebutnya buto. Sebuah personifikasi yang pas untuk mengilustrasikan watak dan perilaku yang ditunjukkan para penyelenggara negara saat ini. Satu Kala saja sudah mendatangkan malapetaka. Nah, ini mereka membentuk mafia, bergerombol dan bersekongkol. Duh, sungguh-sungguh sebuah tragedi.Tragedi menjadi semakin komplit, sebab sebagian tokoh agama yang dipandang sebagai benteng moral, bahkan partai-partai yang seharusnya menjadi pembela rakyat, telah menjadi mutan: mereka ternyata adalah Kala juga! Sehingga, seandainya saya seorang pelukis karikatur, saya akan menggambar gerombolan Kala sedang lahap memakan manusia Indonesia, sampai disesep-sesep darahnya seperti orang makan tebu.Selain rakus, Kala juga dungu dan tak kenal budi pekerti. Tak tahu baik-buruk. Tak kenal belas kasihan. Buktinya, ketika rakyat pembayar pajak ramai-ramai meneriaki alias nggopyok, para Kala itu terus saja dengan tindakannya. Tidak nyambung, tidak mengerti. Sebagian dari gerombolan Kala yang di DPR malah berdalih mirip bromocorah yang tertangkap basah. Katanya, duit Rp 10 juta yang disesep itu tidak akan dimakan sendiri, melainkan akan disalurkan ke konstituen.Dungu dan tak tahu baik-buruk. Memangnya itu duit gerombolan mereka, duit partai mereka? Bagaimana dengan orang-orang miskin yang bukan konstituen mereka, bukan konstituen siapa-siapa? Itu duit negara, milik para pembayar pajak, dari hasil utang dan hasil perusahaan negara yang seharusnya dipergunakan sebaik-baiknya untuk kesejahteraan rakyat melalui instrumen yang benar. Kok seolah-olah dianggap deviden milik partai, lalu dijadikan bancaan untuk diberikan kepada konstituennya. Berapa saham yang telah disertakan partai untuk negara, sehingga bisa keluar pola pikir seperti itu?Sampai kapan praktik gerombolan Mafia Kala itu akan terus berlangsung? Jawabannya akan tetap terus berlangsung sampai rakyat negeri ini binasa atau bangkit melakukan perlawanan. Gopyok ramai-ramai. Usir mereka dengan cara jangan pernah dipilih lagi. Jangan dipercaya. Pemimpin itu cerminan dari mutu rakyatnya. Begitulah. (es/)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads