Pakar: Menteri Tak Perlu Dikotomi Parpol/Nonparpol, yang Penting Profesional

Pakar: Menteri Tak Perlu Dikotomi Parpol/Nonparpol, yang Penting Profesional

Nur Azizah Rizki Astuti - detikNews
Rabu, 04 Sep 2019 14:18 WIB
Jumpa pers hasil Konferensi Nasional Hukum Tata Negara (ari/detikcom)
Jakarta - Pakar hukum tata negara, Bayu Dwi Anggono, mengatakan profesionalitas adalah kunci dalam pembentukan kabinet Presiden Jokowi. Menurutnya, tidak perlu ada dikotomi parpol dan nonparpol karena semua menteri harus profesional.

"Jadi presiden silakanlah tegas. Presiden tetap punya kriteria soal orang menteri itu A sampai Z, kalau ada yang tidak memenuhi syarat ya kembalikan ke parpol. 'Anda kalau mau ngirim orang yang direkomendasikan ya harus memenuhi syarat saya, kalau nggak ya saya kembalikan', itulah makna prerogatif," kata Bayu.

Hal itu disampaikan dalam jumpa pers penutupan Konferensi Nasional Hukum Tata Negara (KNHTN) ke-6 di Hotel JS Luwansa, Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, Rabu (4/9/2019).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Karena kan sumber menteri itu bisa dari parpol, asosiasi, dari profesi, kemudian kelompok-kelompok lain, relawan dan sebagainya, bukan soal latar belakang dari mana, tapi apakah orang tersebut memenuhi kriteria yang dia minta," ujar Bayu, yang juga Direktur Puskapsi Universitas Jember.

Adapun menurut pakar hukum tata negara Bivitri Susanti, penyusunan kabinet seharusnya memperhatikan kepentingan masyarakat dan bukan transaksional dengan partai politik. Bivitri menilai ada tekanan yang diberikan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam penyusunan kabinet.

"Ya, kalau saya melihatnya kayak itu. Jangankan yang terbuka di media, di Kongres PDIP di Bali, partainya bilang 'kita segini dong' dan sebagainya. Kelihatanya kalau dari narasi belakangan beliau sampaikan, termasuk di Istana, ada tekanan itu, sehingga ditekankan kembali 'itu hak prerogatif saya (Jokowi)', jangan ditekankan," kata Bivitri

Bivitri mengatakan dalam sistem presidensial multipartai, memang ada ikatan antara presiden dan koalisi pengusung. Untuk menghindari sistem transaksional dengan partai, Bivitri mendorong presiden membuat kriteria bagi para calon menterinya.

"Tidak dipungkiri kita masih sistem presidensial multipartai, mau nggak mau ya ketika dia mau maju jadi presiden buat ikatan dalam koalisi dengan partai-partai, mau tidak mau mesti diperhatikan. Yang kami dorong memang hak prerogatif presiden. Presiden bikin saja kriterianya, jangan si A si B, bikin saja kriterianya. Gini, apakah terafiliasi dengan parpol atau tidak, yang penting kriteria bisa terpenuhi. Saya kira ada tekanan-tekanan," ucapnya.

Bivitri mengatakan kriteria calon menteri perlu disampaikan ke publik. Publik, menurutnya, bisa menilai apakah nantinya seorang menteri memenuhi kriteria atau tidak.

"Kalau menurut saya perlu ya, jadi publik bisa menilai partai mana yang memaksakan gitu, pokoknya jabatan menteri M buat partai ini, menurut kami tidak bisa itu. Publik nilai dulu tercapai atau tidak. Kalau dia terafiliasi dengan partai tertentu bukan masalah, menurut kami kualifikasi atau tidak," ucapnya.
Halaman 2 dari 3
(azr/asp)



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads