Menurut Dihar dalam beberapa kasus, banyak sekali perusahaan atau figur yang minta di-branding (dikemas) seperti 'pepesan kosong', untuk dicitrakan sebagai perusahaan yang sangat kuat dan mapan, atau produk-produk yang berkualitas tinggi. Padahal, perusahaan maupun produk, dan figur tersebut tidak sesuai dengan citra yang sudah terlanjur menempel.
"Upaya mengemas pepesan kosong atau diistilahkan dengan bubble branding saat ini menjadi hal jamak dilakukan oleh para praktisi kehumasan atau konsultan PR. Bubble branding sama saja dengan menciptakan citra sebuah perusahaan, figure, atau produk yang terlihat kuat, besar, atau sempurna. Namun, kenyataan di dalamnya kosong seperti balon, yang ketika ditusuk jarum akan kempes tidak berisi," ujarnya dalam keterangan tertulis, Rabu (4/9/2019).
Strategi ini, kata Dihar berbahaya bagi si pemegang brand, lantaran lambat laun kedok sesungguhnya akan terbongkar, konsumen dan publik akan mengetahui kualitas sebenarnya dari perusahaan atau produk tersebut. Jika hal itu terjadi, maka tinggal menunggu waktu kehancuran brand yang telah disampaikan secara eforia tersebut.
"Jadi, praktisi humas harus membedakan bluffing (bualan) dan branding. Branding itu adalah upaya menyampaikan strength (kekuatan atau kelebihan) dari sebuah produk atau figur berupa fakta dan kebenaran kepada publik dengan cara dan stratregi yang baik, bukan membohongi publik," jelasnya.
Baca juga: Tantangan Mengelola Keuangan Keluarga (1) |
Menurut Dihar, dalam kasus seorang sineas muda yang sempat viral belakangan, kerja para praktisi humas di belakangnya yang sangat cemerlang. Mereka mampu mengemas sosok sineas muda asal Indonesia tersebut sebagai sosok sukses yang berhasil masuk jajaran sineas Hollywood dengan segala prestasi yang membuat publik berdecak kagum.
"Namun, tak semua media menelan bulat-bulat image yang berusaha dilekatkan itu. Beberapa jurnalis mulai menyelidiki latar belakang, dan kebenaran dari prestasi dan branding tersebut. Beberapa fakta yang ditemukan ternyata tak selaras dengan branding exposure yang digembar gemborkan selama ini," terangnya.
Dihar menilai glorifikasi yang sempat berjalan sekian tahun itu sekarang malah berbalik arah. Meski belum ada tanggapan balik dari sineas tersebut, tetapi kepercayaan publik mulai menurun serta intergitas sang sineas mulai dipertanyakan.
"Glorifikasi terhadap keberhasilan seseorang menjadi euforia tersendiri di tengah masyarakat. Mungkin terdengar biasa saja, namun sebenarnya, dengan aliran informasi dan glorifikasi tersebut, masyarakat sedang dibodohi habis-habisan oleh para penyebar issue," ujarnya.
Baca juga: Melawan Mega-Industri Pembajakan Buku |
"Mereka mengeruk keuntungan dari emosi publik. Bagi saya, praktisi kehumasan, kita berada di era yang sangat berbahaya," imbuhnya.
Branding & Integrity
Dihar menyebut tak ada yang salah dari glorifikasi, euphoria, serta penyebaran informasi viral dan masif itu, sejauh informasi yang yang disampaikan tersebut adalah sebuah fakta kebenaran. Para praktisi kehumasan pasti memahami bahwa untuk menjadikan produk, perusahaan atau seseorang memiliki nilai positif di masyarakat, perlu digembar gemborkan kekuatan dari sesuatu yang mereka branding.
"Namun, sekali lagi, ada hal yang jauh lebih penting dari sekedar nama besar, yaitu integritas. Branding dan Integritas adalah hal yang tak bisa dipisahkan," jelasnya.
Kepercayaan publik terhadap suatu brand, dikatakannya, akan menjamin eksistensi brand tersebut dalam jangka panjang. Kepercayaan ini hanya akan terbentuk jika suatu brand benar-benar peduli dengan nilai-nilai integritas, yaitu, kejujuran, keterbukaan, prinsip etika dan karakter moral.
"Ketika brand mengabaikan nilai-nilai intergitas ini, maka bisa dipastikan tingkat kepercayaan publik akan menurun dan mengancam eksistensi brand tersebut," tuturnya.
Dihar mencontohkan salah satu kesuksesan dalam branding yang mengedepankan integritas adalah Phillips. Brand elektronik asal Negeri Tulip ini berhasil memposisikan dirinya sebagai perusahaan elektronik dengan inovasi dan mutu produk yang sangat baik.
"Sehingga, bila disandingkan dengan banyak produk elektronik lainnya, brand Phillips tetap menjadi top of mind dan pilihan konsumen," tuturnya.
Pada tahun 2011, Phillips menunjuk CEO baru, Frans Van Houtem yang mengubah citra Phillips secara dramatis. Dengan visi misi yang jelas yaitu improving people's live through innovations, Phillips mulai merambah ke banyak lini kehidupan masyarakat lewat perangkat elektronik yang mencakup, kesehatan, gaya hidup dan penerangan.
Seiring dengan visi dan misinya, Phillips mulai berinovasi dan mengembangkan banyak produk untuk kebutuhan masyarakat. Branding yang dilakukan pun dapat bertahan dalam proses tersebut. Inilah yang dinamakan Brand Integrity (Intergitas Branding).
"Di tengah masyarakat yang mudah terharu dengan tren sosial media saat ini, memunculkan brand memang menjadi sangat mudah seperti menjual kacang goreng," katanya.
"Namun, brand tersebut hanya mampu bertahan jika bisa dibuktikan secara selaras dan konsisten. Untuk mendapatkan kepercayaan publik tidaklah sulit, tetapi membangun reputasi dan kepercayaan (trust) yang baik dengan konsumen harus menjadi fokus utama," pungkas Dihar. (mul/ega)