"Menurut hukum tata negara yang punya hak dan wewenang untuk membuat kebijakan dalam hal yang sifatnya opsional seperti berencana memindahkan atau tidak memindahkan ibu kota di dalam keadaan seperti sekarang ini adalah presiden. Presidenlah yang wewenang itu," kata Mahfud saat Peresmian Pembukaan Konferensi Hukum Tata Negara VI 2019 di Istana Negara, Jakarta, Senin (2/9/2019).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Yang penting kalau nanti semua sudah siap barulah pemindahan yang resmi dilakukan dengan pembentukan undang-undang baru atau perubahan terhadap undang-undang yang sudah ada," ujarnya.
Mahfud yakin selama pemerintah konsisten dan cermat dalam pemindahan ibu kota maka semuanya akan berjalan dan selesai dengan baik. Dia pun menegaskan tidak ada pelanggaran prosedur dalam rencana pemindahan ibu kota.
"Karena pemindahan resminya secara yuridis nanti dengan undang-undang memang bisa dilakukan pada saat kita sudah benar-benar akan pindah. Itulah cara kami (pakar hukum tata negara) memandang hubungan antara hukum tata negara dengan politik," imbuhnya.
"Kalau ada orang-orang hukum tata negara punya pendapat politik, punya keinginan politik, itu adalah hak pribadinya sebagai warga negara. Tapi kalau dari keahliannya itulah cara membedakan antara politik dan hukum," lanjutnya. (nvl/idn)











































