Jerman yang dikuasai oleh Nazi pimpinan Adolf Hitler adalah pemicu meletusnya Perang Dunia II pada 80 tahun yang lalu. Jerman ingin mencaplok sejumlah negara Eropa timur dalam satu kekuasaan. Semuanya bermula dari sebuah hasrat nasionalisme yang disebut Pan-Jermanisme.
Pan-Jermanisme: Nasionalisme Berbasis Ras
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Beberapa penganut gerakan ini mendukung penyatuan orang-orang berbahasa Jerman di Eropa tengah dan timur serta wilayah berbahasa Belanda dan Flemish. Gerakan ini mulanya berakar pada keinginan untuk penyatuan Jerman yang dirangsang oleh perang pembebasan (1813-1815) melawan Napoleon I. Kemudian momen ini dikipasi oleh nasionalis Jerman awal seperti Friedrich Ludwig Jahn dan Ernst Moritz Arndt.
Para pendukung konsep Jerman Raya juga ingin memasukkan bangsa Jerman dari Kekaisaran Austria ke dalam satu negara yang mereka kehendaki, dan yang lain juga ingin memasukkan orang Skandinavia.
Sebenarnya, dominasi Jerman di kawasan regional telah dimulai pada awal abad ke-9 Masehi dengan aksi 'ekspansi ke timur'. Hegemoni Jerman di Eropa tengah dan timur diklaim untuk memastikan perdamaian Eropa.
Pan-Jermanisme punya latar belakang konsep tentang ras, yakni satu ras lebih unggul (superior) ketimbang ras lainnya. Nazi sebagai promotor Pan-Jermanisme menyatakan ras Arya sebagai yang paling superior. Gagasan tentang superioritas "ras Arya" diusulkan oleh Joseph-Arthur, comte de Gobineau lewat tulisannya, 'Esai tentang Ketimpangan Ras Manusia' tahun 1853.
Gerakan Pan-Jermanisme dimulai pada tahun 1894, ketika Ernst Hasse, seorang profesor di Leipzig dan anggota Reichstag (parlemen), mengorganisasi Alldeutscher Verband (Liga Pan-Jerman) berdasarkan Allgemeiner Deutscher Verband yang terorganisir (Umum Liga Jerman) didirikan pada tahun 1891. Tujuannya semata-mata untuk menumbuhkan dan meningkatkan kesadaran nasionalisme Jerman, terutama di antara orang-orang berbahasa Jerman di luar negara Jerman.
Hasse menyerukan ekspansi Jerman di Eropa. Tokoh lain seperti Georg SchΓΆnerer dan Karl Hermann Wolf menerjemahkan sentimen Pan-Jermanisme di Austria-Hongaria dan juga menyerang orang-orang Slavia, Yahudi, dan kapitalisme. Ide-ide inilah yang nantinya banyak membantu Adolf Hitler dalam membentuk gagasannya. Di bawah Republik Weimar (1919-1933), Pan-Jermanis terus mendesak untuk ekspansi dan satu-satunya yang bisa mewujudkannya adalah Adolf Hitler dengan Partai Nazinya.
Oleh Hitler dan Nazi, dorongan ekspansi ini benar-benar diwujudkan. Jerman di bawah pimpinan Hitler, mencaplok negara-negara tetangganya seperti Polandia, Ukraina dan Cekoslovakia. Semuanya semata-mata karena semangat Pan-Jermanisme yang sarat akan nilai rasisme.
Dampak dari Pan-Jermanisme: Polandia yang Porak-Poranda
Salah satu negara yang jadi korban dari invasi chauvinistik ialah Polandia. Tepat pada 1 September 1939, bom dijatuhkan di kota Wielun, Polandia. Polandia jadi negarayang porak-poranda saat itu.
Sebagaimana digambarkan oleh Time, ada sekitar 1,5 juta tentara Jerman, lebih dari 2.000 pesawat terbang dan lebih dari 2.500 tank melintasi perbatasan Polandia pada 1 September 1939. Inggris memberikan ultimatum kepada diktator Nazi Adolf Hitler agar menarik diri dari Polandia. Hitler mengabaikan permintaan itu, dan dua hari kemudian, pada 3 September 1939, Inggris dan Prancis menyatakan perang. Maka dimulailah Perang Dunia II.
Kemarin, tepat 1 September 2019, Presiden Jerman Frank-Walter Steinmeier meminta maaf kepada Polandia atas kejahatan Nazi di Polandia saat itu. Permintaan maaf itu disampaikan Steinmeier dalam upacara jelang peringatan 80 tahun Perang Dunia II.
"Aku menundukkan kepalaku di depan para korban serangan terhadap Wielun. Aku menundukkan kepalaku di depan para korban Polandia dari tirani Jerman. Dan aku meminta maaf," kata Steinmeier dalam bahasa Jerman dan Polandia, sebagaimana dilansir AFP, Minggu (1/9/2019).
Steinmeier menyampaikannya dalam upacara yang digelar di Kota Wielun, Polandia. Dia mengakui Jerman telah melakukan kejahatan kemanusiaan di Polandia saat itu.
Selama Perang Dunia II, Polandia pernah mengalami kengerian terburuk dalam sejarahnya. Hampir enam juta orang Polandia tewas dalam perang yang menewaskan lebih dari 50 juta orang secara keseluruhan. Angka itu termasuk enam juta orang Yahudi yang tewas dalam Holocaust. Setengah dari mereka adalah orang Polandia.
Selain itu, para penyintas dari tragedi itu ada yang masih hidup. Mereka hidup dengan terus mengingat sejarah mengerikan yang mereka alami.
"Saya melihat mayat-mayat, yang terluka ... Asap, kebisingan, ledakan. Semuanya terbakar," kata salah seorang penyintas bom Wielun, Tadeusz Sierandt (88) kepada AFP jelang peringatan.
![]() |
Namun invasi Polandia bukan yang pertama ketika pasukan Jerman ditugaskan Hitler untuk mendominasi Eropa. Selain Polandia, Hitler juga mencaplok Ukraina dan Cekoslovakia. Semua pangkal peperangan ini dimulai dari satu jenis paham nasionalisme: Pan-Jermanisme
Patahnya Teori Ras Unggul Nazi
Hitler selalu menanamkan pandangannya di Nazi, bahwa bangsa Jerman merupakan ras Arya unggul. Maka dari itu, ras Yahudi dan orang-orang Gipsi mesti dihilangkan agar tak mengotori kemurnian ras Arya.
Namun, teori ras unggul ini patah. Pasalnya, ada teori modern lagi tentang asal usul manusia yang disebut dengan model Out of Africa. Terkait hal ini, Majalah National Geographic pernah mengulasnya.
Hipotesa asal tunggal (atau model Out of Africa) adalah salah satu dari dua akun tentang asal usul manusia modern secara anatomis.
Menurut model asal tunggal, setiap spesies dari genus Homo kecuali satu, Homo sapiens, telah punah. Asal kita semua sama. Sama-sama dari Afrika.
Spesies ini telah berevolusi di Afrika Timur pada rentang waktu 100.000 dan 200.000 tahun yang lalu. Beberapa waktu kemudian, dalam perpindahan dari tempat asalnya, mereka menyebar ke seluruh dunia.
Bagaimana Indonesia Membentuk Nasionalismenya?
Jika Jerman pernah menerapkan Pan-Jermanisme yang punya latar belakang rasis, lalu bagaimana dengan nasionalisme Indonesia?
Sejarawan Universitas Nasional (UNAS), Andi Achdian menjelaskan, mulanya nasionalisme Indonesia muncul dari latar belakang kesukuan. Namun, konsep nasionalisme ini berubah ketika semangat persatuan anti kolonialisme atau semangat melawan penjajah.
"Awalnya ada nasionalisme Jawa, sebagai antitesa kolonialisme saat itu. Misalnya, seperti yang dijalankan oleh Wahidin Sudiro Husudo. Kemudian ada perubahan, dari Java ke Hindia. Gerakan buruh juga semakin kuat. Dari sini, secara ringkas bisa disebut nasionalisme Indonesia dilatarbelakangi oleh semangat antikolonialisme," kata Andi saat dihubungi detikcom, Senin (2/8).
Baca juga: Kembali pada Nasionalisme Diskursif |
Kendati demikian, dia pun menjelaskan bahwa pada zaman pra-kemerdekaan Sukarno pernah membangun nasionalisme lewat pembedaan warna kulit/ras. Tetapi menurutnya, hal ini berbeda dengan konsep kemurnian ras Arya yang digaungkan oleh Hitler.
"Dia memisahkan front kulit sawo matang (pribumi) dan kulit putih (Eropa). Itu cara memobilisasi massa. Dia tidak menyebut ada ras yang lebih unggul. Tapi kolonialisme saat itu dulu memang dibangun dari anggapan orang Eropa, yang menilai ras lain lebih rendah di bawahnya," ujarnya.
Sehingga, apa pun rasnya, semuanya menyatu dalam satu negara tanpa pandang ras. Sebagaimana diketahui, Indonesia punya semboyan Bhinneka Tunggal Ika, dikutip dari Kakawin Sutasoma, 'bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa' yang artinya 'berbeda-beda itu tetaplah satu jua, tak ada kebenaran yang mendua'.
Indonesia terdiri dari beragam ras dan etnis, mulai dari ras Melayu hingga Melanesia, dari orang-orang Jawa hingga Minahasa, Suku Mentawai hingga Suku Asmat, juga beragam agama, keyakinan, dan corak pemikiran. Tak ada rasisme dalam nasionalisme yang dijunjung orang Indonesia.
Halaman 2 dari 4