Menghina Orang Mati Saja Dipidana, Masak ke Presiden Tidak?

RUU KUHP

Menghina Orang Mati Saja Dipidana, Masak ke Presiden Tidak?

Andi Saputra - detikNews
Kamis, 29 Agu 2019 13:59 WIB
Foto: BPMI Setpres/Muchlis Jr
Jakarta - RUU KUHP mengancam penghina Presiden dan Wakil Presiden dengan pidana 4,5 tahun penjara. Padahal, materi serupa pernah dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK). Apa alasan perumus RUU KUHP?

"Dirasakan janggal kalau penghinaan terhadap orang biasa, orang yang sudah mati, bendera/lagu kebangsaan, lambang kenegaraan, petugas/pejabat umum, dan Kepala Negara sahabat saja dijadikan tindak pidana. Sedangkan penghinaan terhadap Presiden tidak," demikian bunyi Naskah Akademik RUU KUHP yang dikutip detikcom, Kamis (28/8/2019).

Memang, dalam RUU KUHP itu, menghina orang mati termasuk delik pidana dan diancam hukuman 6 bulan penjara. Pasal 446 ayat 1 RUU KUHP berbunyi:

Setiap orang yang melakukan pencemaran atau pencemaran tertulis terhadap orang yang sudah mati dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 bulan atau pidana denda paling banyak Kategori II.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sehingga dinilai wajar bila menghina Presiden/Wakil Presiden juga dimasukkan sebagai delik pidana.

"Terlebih status/posisi/kedudukan/fungsi/tugas Presiden berbeda dengan orang biasa, dilihat dari sudut sosiologis, hukum dan ketatanegaraan," ujarnya.

Selain itu, melindungi Presiden/Wapres dari penghinaan, dianggap sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia yang bersifat kekeluargaan. Kepala negara dan wakilnya dapat dipandang sebagai personifikasi dari negara itu sendiri.

"Mungkin di negara lain, terutama di negara-negara barat dewasa ini masyarakatnya mempunyai pandangan lain, akan tetapi di Indonesia masyarakatnya masih mempunyai rasa hormat yang kuat terhadap Presiden dan Wakil Presidennya," cetusnya.

Berbagai alasan menghidupkan kembali pasal penghinaan ke presiden pun dikemukakan. Pertama, kepentingan nilai dasar (basic values) yang ingin dilindungi oleh delik penghinaan adalah martabat/derajat kemanusiaan (human dignity) yang merupakan salah satu nilai universal yang dijunjung tinggi.

"Penghinaan pada hakikatnya merupakan perbuatan yang sangat tercela (dilihat dari berbagai aspek: moral, agama, nilai-nilai kemasyarakatan dan nilai-nilai HAM/ kemanusiaan), karena menyerang/merendahkan martabat kemanusiaan (menyerang nilai-universal); oleh karena itu, secara teoritik dipandang sebagai rechtsdelict, intrinsically wrong, mala per se dan oleh karena itu pula dilarang (dikriminalisir) di berbagai negara," paparnya.

Menurut tim perumus, penentuan ruang lingkup jenis tindak pidana penghinaan bisa berbeda-beda untuk setiap masyarakat/negara. Hal ini termasuk masalah kebijakan kriminal dan kebijakan sosial yg terkait erat dengan nilai-nilai sosio-filosofis, sosio politis, dan sosio-kultural setiap bangsa/negara.

Alasan lain, dalam RUU KUHP juga mengatur larangan penghinaan kepada semua orang, tidak hanya ke Presiden. Yaitu:

1. Larangan penghinaan kepada orang biasa
2. Larangan penghinaan kepada orang yang seang menjalankan ibadah.
3. Larangan penghinaan kepada golongan penduduk.
4. Larangan penghinaan kepada simbol/lambang negara.
5. Larangan penghinaan kepada pejabat/pemegang kekuasaan umum.
6. Larangan penghinaan kepada simbol/lembaga/substansi yang disucikan (Tuhan, firman dan sifat-Nya, agama, rasul, nabi, kitab suci, ajaran agama, atau ibadah keagamaan.

"Apabila dipermasalahkan demikian, semua perbedaan jenis tindak pidana yang didasarkan pada status/kualifikasi yang berbeda juga berarti harus ditiadakan karena dipandang bertentangan dengan prinsip equality before the law," ujarnya.

Penghinaan kepada presiden masuk dalam RUU KUHP 'Bagian Kedua' Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden.

Pasal 218 ayat 1 menyebutkan setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak Kategori IV.

"Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri," demikian bunyi Pasal 218 ayat 2.

Hukuman tersebut diperberat bagi yang menyiarkan hinaan tersebut. Ancamannya dinaikkan menjadi 4,5 tahun penjara.

"Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Kategori IV," demikian bunyi Pasal 219.

Pada 2006, MK menghapus Pasal Penghinaan Presiden. Putusan MK itu atas permohonan yang diajukan Eggy Sudjana. Kala itu, Eggy dililit kasus penghinaan presiden karena menyebut Presiden SBY menerima sejumlah gratifikasi. MK mengabulkan permohonan itu.

"Indonesia sebagai suatu negara hukum yang demokratis, berbentuk republik, dan berkedaulatan rakyat, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia sebagaimana telah ditentukan dalam UUD 1945, tidak relevan lagi jika dalam KUHPidana-nya masih memuat pasal-pasal seperti Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 yang menegasi prinsip persamaan di depan hukum, mengurangi kebebasan mengekspresikan pikiran dan pendapat, kebebasan akan informasi, dan prinsip kepastian hukum," ujar MK.

Namun putusan MK itu tidak bulat. Hakim konstitusi I Dewa Gede Palguna, Soedarsono, HAS Natabaya, dan Achmad Roestandi menolak putusan itu.
Menghina Orang Mati Saja Dipidana, Masak ke Presiden Tidak?Foto: I Gede Dewa Palguna (Foto: Ari Saputra/detikcom)

"Adalah ketentuan yang berlaku universal, dalam tradisi hukum apa pun, bahwa penghinaan merupakan tindak pidana, meskipun substansinya berbeda-beda menurut ruang dan waktu, sehingga apa yang di suatu tempat dan pada suatu waktu tertentu dianggap sebagai penghinaan, belum tentu di tempat lain dan pada waktu yang berbeda juga merupakan penghinaan. Dengan demikian, penghinaan terhadap siapa pun hal itu ditujukan dan dalam hukum pidana negara mana pun adalah perbuatan yang dapat dipidana," kata Palguna.
Halaman 2 dari 5
(asp/aan)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads