Membaca Lagi Pendapat 4 Hakim Konstitusi Soal Penghina Presiden Pantas Dibui

RUU KUHP

Membaca Lagi Pendapat 4 Hakim Konstitusi Soal Penghina Presiden Pantas Dibui

Andi Saputra - detikNews
Rabu, 28 Agu 2019 16:56 WIB
Foto: Jokowi (Andhika Prasetia/detikcom)
Jakarta - RUU KUHP kembali menghidupkan pasal penghinaan presiden yang telah dihapus Mahkamah Konstitusi (MK). Namun ternyata MK tidak bulat. 4 Hakim konstitusi menolak penghapusan pasal itu.

Keempatnya kalah suara dengan lima hakim konstitusi lainnya. Empat hakim konstitusi yang setuju tetap ada pasal penghinaan presiden adalah I Dewa Gede Palguna, Soedarsono, HAS Natabaya dan Achmad Roestandi.

Membaca Lagi Pendapat 4 Hakim Konstitusi Soal Penghina Presiden Pantas DibuiI Dewa Gede Palguna (ari/detikcom)

"Negara hukum dan demokrasi menghormati, melindungi, dan menjamin pemenuhan kebebasan atau kemerdekaan untuk menyampaikan pendapat - di dalamnya termasuk kemerdekaan untuk menyampaikan kritik terhadap Presiden," kata Palguna sebagiamana dikutip dari putusan MK, Rabu (28/8/2019).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Putusan MK itu atas permohonan yang diajukan Eggy Sudjana. Kala itu, Eggy dililit kasus penghinaan presiden karena menyebut Presiden SBY menerima sejumlah gratifikasi.
Membaca Lagi Pendapat 4 Hakim Konstitusi Soal Penghina Presiden Pantas DibuiFoto: I Gede Dewa Palguna (Foto: Ari Saputra/detikcom)

"Tetapi, negara hukum dan demokrasi tidak melindungi pelaku penghinaan, terhadap siapa pun hal itu ditujukan. Pelaku penghinaan tidak dapat berlindung di balik kemerdekaan menyampaikan pendapat. Konstitusi menghormati, melindungi, dan menjamin setiap orang yang bermaksud menyampaikan pendapatnya, tetapi tidak untuk pelaku penghinaan," tegas Palguna yang diamini oleh Soedarsono.

Menurut Palguna dan Soedarsono, bahwa terdapat potensi atau kemungkinan terjadinya pelanggaran terhadap hak-hak konstitusional, khususnya yang diatur dalam Pasal 28 dan Pasal 28E Ayat (2) dan (3) UUD 1945. Namun, andaikata pun keadaan demikian terjadi, hal itu bukanlah merupakan persoalan konstitusionalitas norma melainkan persoalan penerapan norma.

"Suatu norma yang konstitusional tatkala diterapkan di dalam praktik oleh aparat penegak hukum memang terdapat kemungkinan melanggar hak-hak konstitusional seseorang, antara lain karena keliru dalam menafsirkannya. Namun, kekeliruan dalam penafsiran dan penerapan norma sama sekali berbeda dengan inkonstitusionalitas norma," ujar Palguna.


Untuk mengatasi persoalan demikan itulah Mahkamah Konstitusi di negara lain, di samping diberi kewenangan untuk mengadili perkara pengujian undang-undang (judicial review atau constitutional review), juga diberi kewenangan untuk mengadili perkara perkara constitutional question dan contitutional complaint.

"Kedua kewenangan tersebut, constitutional question dan constitutional complaint, tidak dimiliki oleh Mahkamah ini - setidak-tidaknya sampai dengan saat ini," cetus Palguna.

Adapun hakim konstitusi HAS Natabaya dan Achmad Roestandi memulai dasar pemikirannya dengan melihat fungsi presiden dalam UUD 1945. Yaitu sebagai Kepala Negara (Head of State), Presiden sebagai Kepala Pemerintahan (Chief Executive), Presiden sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara (Commander in Chief of the Army, Navy and Air Force), dan Presiden sebagai Kepala Diplomat (Chief Diplomat).

"Sebagai Commander in Chief Presiden adalah Panglima Tertinggi baik di masa damai maupun di masa perang. Inilah yang menunjukkan kepada kita bahwa terdapat supremasi sipil atas militer menurut konstitusi," cetus Natabaya.
Membaca Lagi Pendapat 4 Hakim Konstitusi Soal Penghina Presiden Pantas DibuiFoto: BPMI Setpres/Muchlis Jr

Sedangkan selaku Chief Diplomat, Presiden merupakan organ tunggal dari Bangsa Indonesia dalam rangka melakukan hubungan luar negeri dan sekaligus merupakan wakil tunggal dari negara dengan negara asing.

"Dari keempat fungsi yang diemban seorang Presiden terlihat bahwa seorang Presiden itu merupakan simbol dari kedaulatan, kelangsungan dan keagungan/kebesaran (the symbol of sovereignty, continuity and grandeur) dari seorang Kepala Negara sekaligus sebagai Kepala Pemerintahan," papar Natabaya.

Konsekuensi logis dari empat fungsi di atas maka kedudukan seorang Presiden yang menjadi tokoh sentral dalam suatu negara yang mengakibatkan cara pemilihan dan pemberhentian (impeachment) Presiden diatur secara khusus dalam UUD 1945. Sebagaimana diatur dalam Pasal 6 dan 6A untuk pemilihan serta Pasal 7A dan Pasal 7B UUD 1945 untuk pemberhentian (impeachment), yang dibedakan cara pengangkatan dan pemberhentian dengan para pejabat negara lainnya.

"Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa seorang Presiden itu adalah hasil dari distilasi (distillation) rakyat Indonesia sehingga Presiden itu merupakan penjelmaan pribadi dan yang mewakili martabat dan keagungan rakyat itu sendiri (the personal embodiment and representative of people dignity and majesty)," papar Natabaya.

Selain itu, Presiden sebagai subjek hukum tata negara adalah pribadi hukum yang disebut dengan jabatan (ambt). Karena hukum tata negara itu merupakan keseluruhan hukum khusus, yang hanya berlaku bagi tingkah laku orang-orang tertentu yang dapat dibedakan dengan orang lain hanya karena orang tersebut adalah pemangku jabatan (ambtsdrager).

"Oleh karena hukum tata negara itu adalah hukum khusus yang mengikat seorang Presiden dalam kedudukannya, maka tindakan hukum seorang Presiden tidak dipertanggungjawabkan kepada pribadi orang (prive), melainkan dalam kedudukannya sebagai pemangku jabatan (ambtsdrager)," ujar Natabaya.

Adalah logis menurut hukum apabila dalam KUHP terdapat pasal-pasal yang mengatur perlindungan terhadap kepribadian pemangku jabatan. Perlindungan terhadap kepribadian pemangku jabatan (dalam hal ini seorang Presiden), terdapat juga dalam hampir setiap KUHP dari beberapa negara.

Contoh antara lain negara Jerman yang dalam Deutsches Strafgesetzbuch, kejahatan penghinaan terhadap Presiden dikualifikasi sebagai kejahatan yang membahayakan negara hukum yang demokratis (democratishe rechtsstaat). Hal mana diatur dalam Section 90 dari Title Three tentang Endangering The Democratic Rule of Law (GefΓ€hrdung des demokratischen Rechtsstaates).

"Dari ketentuan Section 90 Deutsches Strafgesetzbuch di atas, ternyata keberadaan Section 90 tersebut justru untuk melindungi sendi-sendi negara hukum yang demokratis (Democratic Rule of Law) di Jerman," cetus Natabaya.

13 Tahun berlalu, rancangan KUHP kini kembali dibahas di DPR. Kali ini kembali mengancam penghina presiden untuk dipenjara.

Penghinaan kepada Presiden masuk dalam 'Bagian Kedua' Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden.

Pasal 218 ayat 1 menyebutkan setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak Kategori IV.

"Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri," demikian bunyi Pasal 218 ayat 2.

Hukuman tersebut diperberat bagi yang menyiarkan hinaan tersebut. Ancamannya dinaikkan menjadi 4,5 tahun penjara.

"Setiap Orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Kategori IV," demikian bunyi Pasal 219.

Apakah setiap orang yang 'mengkritik' presiden bisa dipidana?

Pasal selanjutnya menegaskan perbuatan itu baru menjadi delik apabila ada aduan dari Presiden atau Wakil Presiden.

"Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan oleh kuasa Presiden atau Wakil Presiden," ujarnya.
Halaman 2 dari 7
(asp/mae)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads