"Ini merupakan salah satu cara melestarikan penggunaan koteka di wilayah tersebut," ucap Hari Suroto sebagaimana dikutip dari Antara, Selasa (6/8/2019).
Koteka adalah pakaian untuk menutup kemaluan laki-laki dalam budaya sebagian penduduk asli Papua. Koteka terbuat dari kulit labu air (Lagenaria siceraria). Isi dan biji labu tua dikeluarkan dan kulitnya dijemur. Secara harfiah, kata ini bermakna 'pakaian', berasal dari bahasa salah satu suku di Paniai. Sebagian suku pegunungan Jayawijaya menyebutnya holim atau horim.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tak sebagaimana anggapan umum, ukuran dan bentuk koteka tak berkaitan dengan status pemakainya. Ukuran biasanya berkaitan dengan aktivitas pengguna, hendak bekerja atau upacara. Banyak suku di sana dapat dikenali dari cara mereka menggunakan koteka. Koteka yang pendek digunakan saat bekerja, dan yang panjang dengan hiasan-hiasan digunakan dalam upacara adat.
Namun setiap suku memiliki perbedaan bentuk koteka. Orang Yali, misalnya, menyukai bentuk labu yang panjang. Sedangkan orang Tiom biasanya memakai dua labu.
Seiring berjalannya waktu, koteka semakin kurang populer dipakai sehari-hari. Koteka dilarang dikenakan di kendaraan umum dan sekolah-sekolah. Kalaupun ada, koteka hanya untuk diperjualbelikan sebagai cenderamata.
"Sebagai bagian dari upaya melestarikan koteka di pegunungan tengah Papua, seharusnya pelantikan calon anggota legislatif (caleg) terpilih hasil Pemilu 2019 di kabupaten se-pegunungan tengah Papua (mengenakan koteka)," kata Hari Suroto.
Menurut dia, tiap caleg terpilih harus mengenakan koteka. Sebagai putra daerah setempat, tentu saja mereka memiliki koteka, sehingga tidak perlu lagi disiapkan anggaran pakaian anggota DPRD baru.
Anggota DPRD terpilih juga perlu memberi contoh kepada masyarakat konstituennya. Tidak ada aturan resmi yang mengharuskan dalam pelantikan anggota DPRD harus mengenakan jas dan peci.
Lanjut dia, Papua memiliki otonomi khusus, sehingga pelantikan anggota DPRD berkoteka tidak menjadi masalah. Koteka adalah bagian dari budaya pegunungan tengah Papua.
Pengenaan koteka ini juga merupakan bagian dari pendidikan politik kepada masyarakat konstituen bahwa para anggota Dewan juga peduli pada budaya. Penggunaan koteka akan menunjukkan bahwa anggota Dewan memiliki kapasitas dan integritas untuk memperjuangkan kepentingan konstituennya, sehingga tidak ada jarak lagi antara wakil rakyat dan rakyat.
"Masyarakat yang mengenakan koteka di pegunungan tengah Papua saat ini hanya tinggal sekitar 10 persen," ujarnya.
Pegunungan tengah Papua meliputi sepuluh kabupaten, yaitu Jayawijaya, Puncak Jaya, Pegunungan Bintang, Tolikara, Yahukimo, Nduga, Yalimo, Lanny Jaya, Mamberamo Tengah, dan Puncak.
Simak video Indeks Demokrasi Papua Barat Terburuk dari 34 Provinsi:
(asp/rvk)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini