"Kecepatan informasi (bukan akurasi) yang harus lebih diutamakan dalam memberikan peringatan dini tsunami. Kecepatan dan akurasi adalah dua hal yang tidak selalu memungkinkan terpenuhi dalam waktu yang bersamaan," ujar Daryono dalam keterangannya, Sabtu (3/8/2019).
Daryono menjelaskan melalui kasus Gempa Tohoku yang mengguncang wilayah Jepang pada 2011 lalu. Saat itu, Japan Meteorological Agency (JMA) dalam waktu tiga menit langsung menyampaikan informasi kejadian gempa dengan magnitudo 7,9 dan peringatan dini tsunami dengan ketinggian 6 meter.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Daryono menjelaskan akurasi baru dapat dicapai setelah menit ke-50 untuk gempa tersebut. Apabila peringatan dini diinformasikan setelah menit ke-50 karena menunggu akurasi, tsunami sudah melanda terlebih dahulu di pantai-pantai terdekat di Jepang.
"Situasi dan kondisi geologi dan tektonik di Jepang hampir serupa dengan situasi dan kondisi di wilayah Indonesia. Beberapa pantai di Indonesia juga berada pada posisi dengan sumber-sumber gempa bermagnitudo besar, yang akurasi perhitungannya baru bisa dicapai pada menit-menit yang akan selalu terlambat dengan kedatangan tsunami," tuturnya.
Sementara itu, Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengatakan prinsip yang mengutamakan kecepatan informasi inilah yang menjadi pegangan BMKG, sesuai Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2009 pasal 37, seperti yang diterapkan di negara termaju dalam mitigasi dan peringatan dini tsunami. Selain itu juga dengan mempertimbangkan kondisi geologi dan tektonik di berbagai pantai di Indonesia yang rawan tsunami cepat.
"Kecepatan ini yang membuat masyarakat memiliki waktu berharga (golden time) secara lebih dini, untuk melakukan evakuasi mandiri. Untuk akurasi, sebagaimana halnya dengan yang dilakukan di Jepang, dapat dicapai dengan proses updating (pemutakhiran) sesuai dengan perkembangan jumlah sinyal-sinyal kegempaan yang terekam oleh jaringan sensor gempa bumi," ujar Dwikorita. (azr/gbr)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini