"Saya setuju ini hukum progresif sehingga bisa lebih leluasa melihatnya lebih jauh. Koridornya tetap jelas dalam hukum," kata ahli hukum tata negara Bivitri Susanti di Jakarta, Selasa (9/7/2019).
Bivitri kemudian merujuk pada perdebatan perumus Pasal 14 ayat 2 UUD 1945 amendemen. Dalam pembahasan itu, para perumus tidak terlalu memperdebatkan hak presiden memberikan amnesti dipakai untuk kasus apa saja.
"Pembahasannya berfokus keinginan kuat untuk membatasi kekuasaan Presiden. Di dalam Pasal 14 ayat 2 UUD 1945 sangat jelas, yaitu tidak ada sama sekali harus kasus politik," ujar pengajar STHI Jentera Jakarta itu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pemerintah sejak 1984 berkomitmen menghapus diskriminasi terhadap perempuan. Ini (amnesti Baiq Nuril, red) gestur penting bagi Jokowi untuk menguatkan pesan politik, bukan asal-asal memaknai politik. Kedua, penghapusan RUU PKS masih terhambat di DPR. Ini penting bagi pemerintah menunjukkan pada kasus konkret seperti Baiq Nuril," pungkas Bivitri.
Baca juga: Baiq Nuril: Saya Ingin Mencari Keadilan |
Dalam kasus itu, Baiq Nuril sejatinya dilecehkan oleh Haji Muslim. Untuk membela diri, ia kemudian merekam pembicaraan telepon Haji Muslim yang berisi perkataan cabul. Oleh MA, perekaman dan penyebarluasan itu dinilai sebagai perbuatan melanggar hukum sehingga Baiq Nuril dijatuhi hukuman 6 bulan penjara serta denda Rp 500 juta.
Simak Video "Komnas Perempuan Desak Jokowi Beri Amnesti untuk Baiq Nuril"
(asp/rvk)











































