"Terkait temuan, ada beberapa temuan menarik setelah kita melakukan penelusuran tracking para 125 calon hakim ad hoc tipikor ini di mana 88 dia apply pada tingkat pertama, lalu sisanya di tingkat banding," ujar peneliti ILR Rizky Yudha dalam diskusi 'Catatan Koalisi Masyarakat Sipil Terhadap Rekam Jejak Calon Hakim Ad hoc Tindak Pidana Korupsi' di Bakoel Koffie, Jalan Cikin Raya, Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (7/7/2019).
Catatan negatif pertama adalah adanya ketidaklengkapan dokumen administrasi para peserta calon hakim. Yudha mencontohkan surat keterangan sehat yang hanya menggunakan secara jasmani tanpa kejiwaan.
"Terkait syarat dokumen administrasi tadi sudah disampaikan para calon ini pada tahap assesment artinya 125 calon hakim ini sudah memenuhi persyaratan di administrasi. Namun berdasarkan CV yang kami terima banyak sekali di sana yang tidak lengkap peserta melengkapi persyaratannya. Persyaratan itu misalkan terkait ngomong surat keterangan sehat, di sini peserta sudah melampirkan surat keterangan sehat. Tapi dari surat itu kebanyakan keterangan jasmani. Padahal di sana dia harus sehat secara jasmani dam rohani," kata Yudha.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Temuan kedua, Yudha mengungkapan minimnya para peserta calon yang mempubilkasi tulisan bahwa dia berkompeten dalam pidana korupsi. Jika ditemukan, maka hal tersebut akan mempermudah mengetahui kompetensi mereka.
"Kedua terkait hukum pidana korupsi, jadi karena di sana dari pemantauan kami tidak banyak menemukan dari 125 seleksi bentuk bentuk sebuah tulisan, publikasi, atau apapun yang melegitimasi peserta seleksi bahwa dia punya kompetensi pidana korupsi sendiri. Kalau kita menemukan tulisan dan publikasi kita tahu sejauh mana kompetensi peserta seleksi menjadi hakim ad hoc," ucapnya.
Temuan selanjutnya adalah adanya 18 calon hakim ad hoc yang tidak menyampaikan LHKPN padahal dia wajib melaporkan. Selain itu juga ditemukan calon yang mencobai mengelabui panitia penyelenggara.
"Kami telusuri juga sejauh mana prinsip anti korupsi. Dari sini kita temukan dari 41 calon yang wajib LHKPN, terdapat 18 orang tidak disiplin menyampaikan LHKPNnya. Lalu kami menemukan terkait sanksi disiplin, ini juga jadi catatan menarik. Bagimana perilaku hakim yang seharus baik. Kita juga menemukan calon yang coba mengelabui pansel dengan mencantumkan informasi palsu pada berkas pendaftaran," jelas Yudha.
Ada juga peserta calon yang ditemukan memiliki afiliasi partai politik. Hal ini dikatakan Yudha akan memunculkan konflik kepentingan dalam pemberantasan korupsi.
"Keempat kami juga menemukan potensi kepentingan peserta seleksi. Kita lihat riwayat partisipasi politik, di sini beberapa calon peserta hakim memiliki riwayat partisipasi politik dalam bentuk kader partai, ada beberapa yang sudah jadi legislator dari sebuah fraksi partai politik. Terus juga ada yang selesai menjabat. Kekhawatiran adanya riwayat partisipasi politik ini menjadi konflik kepentingan ketika dia terpilih hakim ad hoc tipikor," tuturnya.
"Temuan kami setidaknya 9 orang peserta seleksi yang dia advokat yang pernah mendampingi kasus tindak pidana korupsi. Baik itu tersangka atau pun terdakwa. Memang ada kewajiban advocat membela kliennya, tapi saya pikir ini catatan menarik yang pernah mendampingi. Saya pikir pansel perlu mendalami lebih lanjut lagi terkait hal ini," tambah Yudha.
Terakhir temuan Yudha dan kawan-kawannya adalah adanya peserta langganan yang mengikuti seleksi calon hakim ad hoc tipikor. Hal ini harus dipertimbangkan oleh paniti penyelenggara padahal seleksi sebelumnya mereka ada yang gagal.
"Yang terakhir, ini terkait seleksi langganan, maksudnya di sini dia setidaknya pernah mengikuti seleksi lebih dari satu kali. Kami menemukan dia yang ikut seleksi ini berturut-turut. Saya pikir pansel perlu mendalami kembali, catatan kembali, apa yang menjadi gagal peserta seleksi pada sebelumnya," imbuh Yudha.
Sementara itu, anggota Ombudsman, Ninik Rahayu mengatakan calon hakim tipikor harus peka terhadap teknologi yang sudah berkembang di MA. Ninik tidak ingin ada hakim yang tidak bisa menelusuri jejak koruptor melalui jaringan internet.
"Hakim tipikor itu harus peka dengan teonologi baru yang dibuat oleh MA. Dia harus peka dan mampu untuk menggunakan sistem online itu. Jangan sampai hakim tipikor nanti enggak bisa menelusuri rekam jejak para koruptor itu," katanya.
Selain itu, Ninik meminta kedepannya adanya keterlibatan masyarakat sipil pada seleksi calon hakim ad hoc tipikor. Karena menurut Ninik hal ini berkaitan dan saling bergantung.
"Ke depan seharusnya dibangun sistem akuntabilitas penting, menurut saya keterlibatan kualifikasi masyarakat sipil itu juga penting. Enggak salah sebenarnya kalau masyarakat sipil dilibatkan. Menurut saya itu priopritas, karena pengadilan," sebut Ninik.
"Saya kira MA jangan segan untuk berelaborasi dengan jaringan masyarakat sipil. Karena sebagaimana kita tahu semua itu bergantung. Saling berkaitan," pungkasnya.
(asp/asp)











































