Diskusi digelar di gedung DPP PDIP, Jl Pangeran Diponegoro, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (4/7/2019). Mereka yang menjadi pembicara di antaranya Teguh Boediyana dari Ketua Dewan Persusuan Nasional, Pantjar Simatupang sebagai peneliti Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Kementerian Pertanian, Maxdeyul Sola yang merupakan Sekjen Dewan Jagung Nasional, dan Moesbar Mesdi, Ketua Peternak Layer Nasional.
Teguh Boediyana dalam sambutannya berbicara soal usaha mikro. Menurutnya, jenis usaha ini harus mendapat perhatian.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: Puan Redam Isu Suksesi PDI Perjuangan |
Dia lantas berbicara soal jumlah koperasi dan jenis usahanya. Dia turut menyinggung soal penurunan kondisi koperasi di RI.
"Koperasi yang ada total hanya 126 ribu, yang usaha besar hanya 1.700. Usaha menengah itu kira-kira 10 ribu, usaha kecil 27 ribu, dan usaha mikro 86 ribu. Di era Orde Baru, koperasi diberi suatu kekhususan karena menjalankan program-program pemerintah, terutama untuk di pedesaan bekerja sama dengan Bulog untuk pengadaan pangan dan sebagainya. Tapi setelah kesepakatan letter of intent tahun 1997 antara Pak Harto dengan IMF, semua bentuk proteksi dibuang. Monopoli Bulog tidak ada lagi, koperasi tidak ada lagi, yang terjadi adalah koperasi menurun kondisinya," sebut dia.
"Kalau bicara koperasi sebagai ujung tombak ekonomi gotong royong, bagaimana usaha yang kecil kecil akan berkembang kalau tidak disatukan dan koperasi diyakini founding fathers adalah satu instrumen untuk menyatukan kekuatan kekuatan kecil. Kita ini, menurut saya, sudah masuk dalam era liberalisasi yang luar biasa. Dulu impor susu sekian, harus menyerap susu sekian. Kemudian setelah adanya letter of intent IMF tahun 1997, peternak kecil harus bertempur dengan kekuatan besar. Kalau kita lihat di negara Barat, untuk pertanian, mereka masih melakukan proteksi," beber Teguh.
Teguh menyebut, intinya, ekonomi gotong royong melalui koperasi merupakan suatu keharusan dan Indonesia dituntut punya komitmen. Teguh memandang koperasi merupakan instrumen paling pas untuk ekonomi gotong royong karena dilandasi asas kepercayaan.
"Kita harus punya komitmen besar dengan beberapa pendekatan yang dilakukan. Pertama, pendekatan politis dengan meninjau kembali peraturan yang memarginalkan UMKM. Pendekatan politik itu ada dua, pertama peraturan, kedua lewat APBN," ucapnya.
Ketua DPP PDIP bidang Buruh, Tani, dan Nelayan Mindo Sianipar mengatakan mereka ingin meminta informasi dan masukan ke masyarakat luas, kepada para ahli, pelaku usaha, dan sebagainya terkait tema diskusi ini. Dia mengatakan masukan dalam diskusi hari ini akan disampaikan dalam kongres mendatang.
"Jadi forum ini masukan untuk kita bicarakan lebih lanjut di kongres. Kongres itu juga membicarakan masalah kebutuhan rakyat. Jadi partai itu seperti itu," ucap Mindo.
"Judul forum diskusinya saja ekonomi gotong royong sebagai pilar ekonomi nasional. Itu tentu menyeluruh, yang sekarang ini kelihatannya masih terkait masalah pangan, pertanian. Nanti akan dibahas masalah lain lagi. Minggu depan akan ada diskusi lagi, tetapi tetap ekonomi gotong royong," imbuh dia.
Menurut para ahli, ekonomi gotong royong inilah yang bisa mengangkat ekonomi rakyat. Ini adalah pengalaman mereka, tentu ada beberapa penyempurnaan yang disampaikan tadi, perlu SDM-nya ditingkatkan dalam rangka menerapkan ekonomi gotong royong.
Mindo menyebut hasil diskusi ini akan disampaikan dalam kongres untuk dibicarakan lebih jauh. Dia menyebut ekonomi gotong royong masih akan terus digodok konsepnya.
"Jadi apa yang dibicarakan tadi akan dibawa ke kongres untuk dibicarakan lebih lanjut, menjadi satu kesatuan pikir dari partai dan akan diterjemahkan dalam pelaksanaannya. Kalau itu harus dilakukan pemerintah, maka anggota-anggota Fraksi PDIP di setiap tingkatan akan merekomendasikan jalan berpikir itu untuk dilakukan. Konsep ekonomi gotong royong itulah yang sedang digodok bersama-sama, tidak bisa hanya dalam satu kalimat," ucap dia.
Mindo juga berbicara soal kebijakan ekstraprotektif. Jika rakyat punya masalah, dia menyebut para pejabat harus menyelesaikannya.
"Kedua, perlu adanya kebijakan ekstraprotektif dengan pertimbangan orang banyak. Kalau ada masalah dengan rakyat kita, kita yang bertanggung jawab, bukan negara lain. Pemikiran itu harus kita lakukan. Impor kita luar biasa, impor daging 250 ribu ton per tahun, kita mengimpor bahan baku susu senilai Rp 15 triliun per tahun, padahal kita bisa memberdayakan petani kecil. Ketiga, perlu penguasaan lembaga terkait untuk mencapai apa yang menjadi tujuan kita. Prinsip kita bagaimana petani menjadi tulang punggung ekonomi kita. Terakhir, menyiapkan kader militan untuk menggerakkan bagaimana koperasi bisa aktif," beber dia.
PDIP: Tidak Ada Istilah Oposisi, Kita Rangkul Semua
(gbr/imk)