Dalam gugatannya, Yusril menyindir kubu 02 yang lebih membangun opini ketimbang menghadirkan fakta hukum. Dia lantas mengungkit fenomena post-truth dan ciri-cirinya.
"Tantangan terbesar yang dihadapi proses Pemilu 2019 ini adalah fenomena politik pasca-kebenaran atau post-truth politics yang menguat beberapa tahun terakhir ini. Ciri-ciri post-truth adalah penggunaan strategi untuk membangun narasi politik tertentu untuk meraih emosi publik dengan memanfaatkan informasi yang tidak sesuai dengan fakta yang membuat preferensi politik publik lebih didominasi oleh faktor emosional dibandingkan dengan faktor rasional," kata Yusril Ihza Mahendra saat membacakan jawaban atas gugatan Prabowo-Sandi dalam sidang gugatan Pilpres di gedung MK, Jl Medan Merdeka Barat, Selasa (18/6/2019).
Terkait fenomena ini, Yusril mengatakan dalil-dalil permohonan tim hukum Prabowo-Sandi mesti dikritik. Menurutnya, narasi kecurangan yang diangkat tim hukum Prabowo-Sandi kerap diulang-ulang.
"Oleh karena itu, Pihak Terkait memandang sangatlah penting untuk memilah dan mengkritisi bangunan narasi yang dijadikan dalil-dalil permohonan Pemohon. Narasi kecurangan yang diulang-ulang terus-menerus tanpa menunjukkan bukti-bukti yang sah menurut hukum, klaim kemenangan tanpa menunjukkan dasar dan angka yang valid, upaya mendelegitimasi kepercayaan publik pada lembaga penyelenggara Pemilu dan lembaga peradilan hendaknya tidak dijadikan dasar untuk membangun kehidupan politik yang pesimistik dan penuh curiga," sambungnya.
Lalu, apa sebenarnya post-truth itu?
Profesor ilmu politik dari University of Sydney, John Keane, dalam tulisannya, 'Post-truth Politics and Why The Antidote Isn't Simply Fact-checking and Truth', menjelaskan post-truth atau pascakebenaran tak mudah didefinisikan. Apalagi hanya disederhanakan sebagai lawan dari kebenaran.
Dia memaparkan post-truth adalah komunikasi yang mencakup kebohongan, di mana pembicara mengatakan hal-hal tentang dirinya sendiri dan dunianya. Padahal sebetulnya semua itu bertentangan dengan kebenaran yang sudah mereka tahu. Sedangkan kebenaran disimpan dalam benak sendiri.
Baca juga: Melampaui "Post-Truth" |
"Ketika seseorang berbohong, mereka dengan sengaja mengatakan hal-hal yang mereka tahu sebetulnya itu tidak benar," tulis John dalam artikel tersebut.
Umumnya, post-truth memang kerap dipakai para politikus untuk menarik simpati pemilihnya. John mencontohkan praktik post-truth ini beberapa kali dilakukan oleh Presiden AS Donald Trump. Trump sempat mengklaim bahwa di California tak pernah ada kekeringan. Padahal tempat itu pernah dilanda kekeringan. Sedangkan saat pelantikannya, Trump menyebut cuaca sedang cerah karena Tuhan tak membiarkan hujan turun. Padahal saat itu sedang gerimis.
John menyebut post-truth bukan sekadar kebohongan untuk hiburan semata. Post-truth, lanjut John, merupakan kediktatoran ilusi. Efeknya bukan hanya untuk memenangi suara elektoral, tapi juga buruk untuk segala aspek kehidupan.
Yusril Jawab Kubu Prabowo, Kutip Ayat hingga Bicara Kiamat:
(rdp/tor)