Berikut ini daftar pendapat para ahli yang dikutip dalam gugatan #02 sebagaimana dirangkum detikcom, Kamis (13/6/2019):
1. Refly Harun
![]() |
Dalam disertasinya, Refly Harun menyimpulkan sama sekali tidak ada niat dari para perumus perubahan UUD 1945 yang membatasi kewenangan MK berdasarkan Pasal 24C ayat 1 UUD 1945 untuk memutus perselisihan tentang hasil pemilu hanya pada perselisihan penghitungan suara yang mempengaruhi hasil pemilu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
2. Yusril Ihza Mahendra
![]() |
"Memeriksa dengan saksama konstitusionalitas dan legalitas pelaksanaan pemilu dan memutuskannya dengan adil dan bijaksana menjadi sangat penting dilihat dari sudut hukum tata negara," kata Yusril saat menjadi ahli yang diajukan oleh Prabowo-Hatta dalam Pilpres 2014.
3. Saldi Isra
Saldi menulis opini di sebuah koran nasional pada 14 Agustus 2013 dengan judul 'Memudarnya Mahkota MK'.
![]() |
"Draf RUU Pilkada dapat membuat batasan minimal selisih suara yang dapat diajukan ke MK. Misalnya, dalam sengketa pemilu Gubernur Sulsel dengan selisih suara 500.000, pasangan yang kalah masih mengajukan gugatan ke MK. Padahal dalam penalaran yang wajar, selisih itu tidak mungkin lagi bisa dibuktikan terjadi kesalahan dalam perhitungan suara."
Sekadar diketahui, Saldi kini menjadi hakim konstitusi.
4. Zainal Arifin Mochtar
![]() |
Tim hukum Prabowo mengutip dua tulisan pakar hukum UGM itu, yaitu 'KPU dan Narasi Pilpres Curang' dan 'Ahli Hukum Tata Negara: Tuduhan Kecurangan Pilpres Harus Diuji ke MK'.
5. Bivitri Susanti
Bivitri menulis opini soal Pilpres 2014 dengan judul 'Panggung Politik MK'.
![]() |
"Bagaimana klaim kecurangan? Putusan MK terdahulu mengenai sengketa pilpres ataupun pemilihan kepala daerah mensyaratkan adanya kecurangan yang sifatnya 'sistematis, terstruktur, dan masif'. Sifat-sifat kecurangan tersebut harus bisa dibuktikan secara rinci."
6. Feri Amsari
![]() |
Tim hukum Prabowo juga mengutip pendapat Feri Amsari dari sebuah berita dengan judul 'MK Dinilai Seperti Mahkamah Kalkulator'.
7. Bayu Dwi Anggono
![]() |
Tulisan Bayu Dwi Anggono juga dikutip yang terbit di sebuah media online dengan judul '(Bukan) Mahkamah Kalkulator'. Tulisan ini membahas pilkada.
8. Veri Junaidi
![]() |
Veri menyoroti kasus Pilkada Jawa Timur dan ia mengatakan fungsi MK sejatinya bukan semata-mata sebagai penghitung selisih perolehan suara. MK bukan 'Mahkamah Kalkulator'.
9. Titi Anggraini
Penyataan Direktur Perludem ini juga dikutip oleh Tim Hukum Prabowo. Yaitu:
![]() |
"Meski kita apresiasi langkah MK untuk menjaga keadilan substansial (di keempat daerah), MK di beberapa daerah masih sangat saklek dalam menetapkan ambang batas selisih dan tidak melihat dalil-dalil yang diajukan pemohon."
10. Arief Hidayat
Arief Hidayat dalam sambutannya menulis dengan judul 'Peran Mahkamah Konstitusi sebagai Penjaga Konstitusi dan Pengawal Demokrasi dalam Sengketa Pemilu'.
![]() |
"... dalam mencapai demokrasi substansial, MK dapat pula mengadili tidak hanya pada sengketa hasil pemilu, melainkan pada keseluruhan proses pemilu...."
Arief Hidayat kini adalah hakim konstitusi dan pernah menjadi Ketua MK.
11. Jimly Asshiddiqie
Tim hukum Prabowo mengutip pendapat Jimly di sebuah media online dengan judul berita 'Ambang Batas Suara 2 Persen Hambat Demokrasi'.
13. Mahfud Md
![]() |
Mahfud Md menulis makalah dengan judul 'Menggagas Model Local Leader Selection yang Berkualitas dan Berintegritas Melalui Perubahan UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilukada Serentak'.
14. Abdul Mukhtie Fadjar
Tulisan Mukhtie yang dikutip berasal dari 'Jurnal Konstitusi' dengan judul 'Membandingkan Pemilu dan Perselisihan Hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2004 dan Tahun 2009'.
15. Tim Lindsey
![]() |
Profesor hukum dari Melbourne University, Australia, Tim Lindsey, disebut-sebut oleh kuasa hukum Prabowo dalam gugatan hasil Pilpres ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pernyataan Lindsey dikutip saat tim hukum Prabowo menyebut Jokowi sedang membangun rezim Neo-Orde Baru.
16. Tom Power
Tim hukum Prabowo juga mengutip pandangan pengamat asing.
![]() |
"Sejalan dengan pandangan bahwa pemerintahan Presiden Joko Widodo mempunyai gaya pendekatan otoritarian seperti Orde Baru adalah pendapat dari Tom Power, kandidat doktor dari Australian National University yang risetnya terkait dengan politik di Indonesia, termasuk gaya pemerintahan Joko Widodo," demikian bunyi dalil gugatan yang ditandatangani oleh Bambang Widjojanto (BW).
Belakangan, Tom Power memprotes pandangannya dikutip tim Prabowo. Tom memaparkan artikel yang ia tulis saat itu sama sekali tidak menyebut dan menunjukkan indikasi kecurangan pemilu yang berlangsung pada April lalu karena artikel itu ditulis 6 bulan sebelum pesta demokrasi Indonesia berlangsung.
"Kedua, sangat sulit sekali menyimpulkan bahwa tindakan pemerintahan Jokowi yang saya sebutkan bisa diterjemahkan sebagai bukti kecurangan pemilu yang masif dan terstruktur," tambahnya.
Lalu, penelitiannya memang menunjukkan indikasi bahwa pemerintahan Jokowi menunjukkan sikap antidemokrasi, tetapi ia sama sekali tidak menyebut pemerintahan Jokowi sebagai rezim otoriter.
"Ketiga, saya sama sekali tidak mengatakan bahwa kualitas demokrasi di Indonesia akan lebih baik kalau Prabowo jadi presiden," pesannya.
Halaman 8 dari 12
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini