Ramadhan di Melbourne di dua tahun terakhir berlangsung saat memasuki musim dingin. Waktu puasa yang lebih singkat dibanding Indonesia, yaitu kurang lebih 11-11,5 jam, ditambah suhu yang berkisar antara 5-19 derajat Celsius membuat puasa tidak terlalu sulit untuk dijalani.
Namun menjalani puasa di tempat dimana muslim adalah minoritas memiliki tantangan tersendiri. Ada sekitar 500.000 populasi muslim dari 4,9 juta penduduk di Melbourne yang berasal dari sekitar 60 negara. Untuk jumlah muslim di kampus-kampus sendiri lebih beragam, contohnya di RMIT University, ada sekitar 5.000 muslim dari sekitar 82.880 total mahasiswa. Sehingga umat muslim adalah entitas yang cukup kecil dibanding jumlah penduduk di Melbourne.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Mualaf pertama bersyahadat ketika berada di acara Ramadhan Family Day yang diselenggarakan oleh Madania di Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Melbourne. Lalu mualaf kedua mengucapkan syahadat di Islamic Council of Victoria (ICV) yang memiliki bangunan 3 tingkat sebagai Islamic Centre. Buka puasa gratis setiap hari dan tarawih berjamaah dilakukan di tempat ini.
Mualaf ketiga mengucapkan dua kalimat syahadat di Surau Kita, salah satu Islamic Centre dari Indonesian Muslim Community of Victoria (IMCV), yang menyelenggarakan tarawih berjamaah dan buka gratis di akhir pekan. Mualaf keempat saya temui di acara buka Bersama di KJRI yang diselenggarakan oleh YIMSA (Youth Indonesian Muslim Student Association) dan MYSK (Muslim Youth Seeking Knowledge), yaitu seorang perempuan asal Vietnam yang telah memakai hijab dan gamis dalam kesehariannya saat ini.
Mualaf kelima, yaitu seseorang berkebangsaan Australia, mengucapkan syahadat di course akhir pekan yang diadakan oleh salah satu muslim community di Melbourne. Ternyata pesona Ramadhan tidak hanya dirasakan oleh muslim yang jumlahnya minoritas di kota berjuluk The Most Liveable City in 2017 ini.
![]() |
Di acara buka bersama itu pula, dialog-dialog mengenai apa saja kegiatan yang ada di Islamic Centre dan apa itu ibadah, salat, dan Ramadhan terjadi. Di suatu acara grand iftar yang diadakan di oleh muslim community di RMIT University, ada beberapa orang yang datang karena mereka mengatakan sehabis peristiwa di Christchurch, muslim juga memerlukan dukungan. Momen Ramadhan juga dapat menjadi ajang mengenalkan komunitas-komunitas muslim di Melbourne. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya agenda-agenda Iftar dan Ied di Facebook Event di sekitar Melbourne.
Peran muslim di negara-negara minoritas muslim bisa bertambah, bukan hanya melakukan puasa dan meningkatkan keimanan dan pengetahuan melalui kajian, talks, course, dan berbagai event, tapi juga menguatkan saudara-saudara muslim lain agar tetap dalam keimanan dan menjadi agen muslim yang baik saat ada yang ingin mengenal Islam lebih jauh. Di berbagai forum atau salat tarawih berjamaah ataupun buka puasa bersama, berkenalan dengan muslim-muslim lain dan bercerita tentang bagaimana tetap mencari pengetahuan Islam dan melakukan ibadah di tengah-tengah aktivitas.
![]() |
*) Siti Nurlaila Indriani adalah mahasiswa Master of Engineering (Sustainable Energy) RMIT University dan Ketua Biro Kelembagaan PPI Dunia
*) Artikel ini terselenggara atas kerja sama detikcom dengan Perhimpunan Pelajar Indonesia se-Dunia (PPI Dunia).
***
Para pembaca detikcom, bila Anda juga mahasiswa Indonesia di luar negeri dan mempunyai cerita berkesan saat Ramadhan, silakan berbagi cerita Anda 300-1.000 kata ke email: ramadan@detik.com cc artika@ppidunia.org dengan subjek: Cerita PPI Dunia. Sertakan minimal 5 foto berukuran besar karya sendiri yang mendukung cerita dan data diri singkat, kuliah dan posisi di PPI.
(fay/fay)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini