Salah satu yang membuat saya selalu bertanya-tanya serta mempersiapkan diri sebelum berangkat kuliah ke Skotlandia adalah bagaimana saya yang hobi makan dan gampang lapar ini biasa berpuasa 18-19 jam? Akankah saya nanti akan merasakan lupa sahur dan pingsan sampai berbuka? Bagaimana masjidnya untuk tarawih dan salat Ied, apakah jauh? Dan seterusnya.
Kini, kebingungan tersebut tengah saya jalani. Hidup saya tak lebih dari bangun pukul 02.30 pagi, kemudian makan sahur, lantas salat subuh, sedikit mengerjakan tugas, lalu tidur hingga pukul 09.00 atau 10.00 pagi. Setelahnya, saya hanya menghabiskan waktu di kamar untuk menulis buku, mengerjakan disertasi, rapat online untuk urusan PPI Dunia atau kegiatan PPI UK, ataupun mengerjakan self-project yang lain. Lantas, pukul 19.30 sore mulai memasak untuk makan buka dan sahur esok harinya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Bayangkan saja, beberapa hari sebelum Ramadhan, saya latihan puasa. Setelahnya, saya belanja ke swalayan dengan membawa koper, sebuah goodie bag dan tas punggung demi menyiapkan perbekalan untuk sebulan ke depan. Hal ini dilakukan agar tak perlu bolak-balik ke swalayan, hemat tenaga. Usai belanja saja, saya sampai perlu naik Uber saking beratnya, padahal jarak dengan asrama hanya 1 km meskipun jalannya agak berbukit. Selama Ramadhan pula, hari-hari saya hanya beredar di kamar, toilet dan dapur. Hanya keluar untuk bimbingan dengan dosen, salat Jumat, sesekali bukber dan ikut acara dari Edinburgh Student Association atau UN House Scotland tempat magang.
Padahal, bulan Mei adalah puncak dari musim panas di Edinburgh, kota wisata andalan Britania Raya, nomor dua setelah London. Artinya, suhu tak akan terlalu dingin plus berangin seperti biasanya, langit pun biru cerah. Cukup banyak pula orang Indonesia yang mengenal Edinburgh juga berkat film kondang Ayat-Ayat Cinta 2 yang diadaptasi dari novel best-seller karya Kang Abik.
![]() |
Tapi, beberapa hal yang menyenangkan adalah, saya punya beberapa kawan dekat yang bisa diajak bukber dan bisa mengobati kerinduan pada makanan Indonesia. Kami membawa bahan makanan masing-masing dan masak bareng di salah satu flat teman kami ini. Kolak, perkedel dan sambal jadi sebagian menu andalan kami. Belum lagi, ada seorang lagi bule dari Roma, yang juga ikut bukber dan menjajal makanan Indonesia. Seru sekali. Selain hal tersebut, saya pernah dihadiahi sepiring nasi goreng dan ikan oleh seorang teman apartemen ketika kami memasak di dapur. Katanya, untuk yang akan berbuka. Sungguh di luar dugaan dan benar-benar berkah yang menyenangkan.
Muslim di Edinburgh sendiri pun untungnya cukup banyak, sekitar 15.000 dari hampir 490.000 total penduduknya. Bahkan, di kampus utama sendiri, ada dua masjid cukup besar yang lokasinya benar-benar bersebelahan dengan area kampus. Salah satunya Edinburgh Central Mosque. Banyak restoran halal dan swalayan yang menjajakan daging halal serta bumbu Asia di sekitarnya. Umumnya, toko dan restoran tersebut dikelola dan menjajakan makanan Timur Tengah seperti kari, masala, dan biryani. Harganya pun cukup variatif tapi agak mahal untuk ukuran mahasiswa seperti saya, yakni sekitar GBP 5-10. Untuk itu, saya lebih memilih belanja di swalayannya lantas memasak sendiri.
![]() |
*) Angga Fauzan adalah mahasiswa MSc Design and Digital Media, The University of Edinburgh. Dia juga aktif dalam Pusat Kajian dan Gerakan PPI Dunia
*) Artikel ini terselenggara atas kerja sama detikcom dengan Perhimpunan Pelajar Indonesia se-Dunia (PPI Dunia).
***
Para pembaca detikcom, bila Anda juga mahasiswa Indonesia di luar negeri dan mempunyai cerita berkesan saat Ramadhan, silakan berbagi cerita Anda 300-1.000 kata ke email: ramadan@detik.com cc artika@ppidunia.org dengan subjek: Cerita PPI Dunia. Sertakan minimal 5 foto berukuran besar karya sendiri yang mendukung cerita dan data diri singkat, kuliah dan posisi di PPI. (fay/fay)