Koalisi masyarakat sipil itu terdiri atas Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Lokataru Foundation, Amnesty, serta LBH Pers.
"Tentu saja kita tidak setuju dengan kekerasan apapun, kekerasan yang dilakukan oleh masyarakat dan kita tidak setuju, tetapi tidak setuju lagi, apalagi kekerasan dilakukan oleh aparat penegak hukum," ujar Ketua Umum YLBHI Asfinawati saat konperensi pers koalisi masyarakat sipil di kantor LBH Jakarta, Jl Diponegoro, Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (26/5/2019).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dikatakan Asfin, ia juga menyayangkan tindakan kekerasan itu dipertontonkan kepada publik. Menurutnya, perseteruan yang terjadi antara elite Jokowi dan Prabowo adalah salah satu pemicu terjadi perpecahan di masyarakat.
"Nah, yang memprihatinkan bagi kami adalah ternyata penggunaan kekerasan ini dipertontonkan kepada publik dan nalar publik ternyata sudah dirusak oleh perseteruan elit," lanjut Asfin.
Selain para pelaku di lapangan saat terjadi kerusuhan, Asfin menilai pihak yang harus bertanggung jawab atas terjadinya kerusuhan pada Aksi 21-22 Mei adalah para elite dari kedua pasangan calon pada Pilpres 2019.
"Dan karena itu, kami mengatakan sesungguhnya yang paling bertanggung jawab selain aktor-aktor di lapangan adalah para elite," lanjutnya.
Senada dengan Asfin, Yanti Andiyani mengatakan pernyataan yang provokatif dari kedua kubu juga membakar emosi masyarakat. Sehingga menggiring masyarakat datang ke Jakarta untuk melakukan demonstrasi.
"Kedua-duanya menyatakan pernyataan publik yang justru itu semakin memperkeruh keadaan. Itu yang kami dapatkan dan itu juga membuat eskalasi kekerasan menjadi berjalan cukup cepat. Dan ini juga menggiring banyak orang, banyak pihak untuk datang ke Jakarta melakukan upaya upaya demonstrasi, untuk tujuan-tujuan yang lain," kata Yanti.
Yanti menilai pernyataan yang provokatif itu menunjukkan kegagalan elit dalam mengontrol tindakan dan ucapan mereka. Dengan begitu, menurutnya, hal itu menjadi salah satu penyebab kekerasan itu terjadi.
"Nah, dalam konteks ini, kami menempatkan bahwa terjadi semacam kegagalan censorship dari kedua kubu untuk mengontrol tindakan, ucapan dari mereka agar tidak menambah atau memperkeruh suasana. Kenapa ini kami tempatkan karena sekali lagi ini menjadi bagian bagaimana kekerasan itu terjadi," lanjutnya.
Faktor lain yang mengakibatkan kerusuhan pada aksi damai itu terjadi di antaranya ujaran kebencian di antara kedua pendukung pasangan calon di media sosial.
"Kemudian kami juga menemukan di media sosial para pendukung dari dua kubu juga menggunakan syiar-syiar atau ajakan ajakan yang menunjukkan kebencian atau kemarahan dengan merujuk pada kelompok atau orang-orang tertentu dengan menggunakan istilah-istilah komunis, PKI, Cina, teroris, radikal, dan seterusnya," tutupnya.
Simak Juga 'Momen Akrab Polisi-TNI Bersama Massa di Slipi':
(lir/imk)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini