Catatan Komnas HAM dan Ketua DPR Soal Pembatasan WhatsApp cs

Round-Up

Catatan Komnas HAM dan Ketua DPR Soal Pembatasan WhatsApp cs

Tim detikcom - detikNews
Kamis, 23 Mei 2019 18:59 WIB
Ilustrasi logo aplikasi chatting WhatsApp yang aksesnya tengah dibatasi pemerintah. (Foto: Dok. REUTERS/Thomas White/File Photo)
Jakarta - Pemerintah memblokir sebagian fitur aplikasi chatting seperti WhatsApp, di antaranya adalah fitur mengirim gambar dan video. Pemerintah beralasan pemblokiran itu upaya mengamankan negeri. Kebijakan ini mendapat sejumlah catatan.

Pemblokiran dilakukan tidak lama setelah kericuhan yang terjadi pada Selasa (21/5) di beberapa titik di Jakarta. Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara menyebut pembatasan akses media sosial (medsos) bersifat sementara dalam rangka menghindari penyebaran kabar bohong atau hoax.


"Pembatasan ini bersifat sementara dan bertahap. Pembatasan dilakukan terhadap platform media sosial, fitur-fitur media sosial--tidak semuanya--dan messaging system," kata Rudiantara dalam konferensi pers di kantor Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Rabu (22/5).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Rudiantara menyebut modus penyebaran kabar bohong itu berawal dari tangkapan layar di medsos. Setelahnya, kabar yang belum jelas kebenarannya itu disebarkan di aplikasi perpesanan WhatsApp.


"Jadi teman-teman akan mengalami, kita semua kan mengalami pelambatan kalau kita download atau upload video," ujar Rudiantara.

Menko Polhukam Wiranto yang juga berada di lokasi itu sedikit menambahkan penjelasan Rudiantara. Dia menyebut langkah yang diambil pemerintah itu bukanlah tindakan sewenang-wenang.


"Kami juga sangat menyesalkan ini kita harus lakukan, tapi semata-mata bukan karena kita ini sewenang-wenang, betul-betul kita ingin mengajak ini suatu upaya untuk mengamankan negeri ini, negeri yang kita cintai ini. Berkorban 2-3 hari nggak lihat gambar kan nggak apa-apa, ya kan?" kata Wiranto.

Kebijakan pemerintah rupanya bukan isapan jempol. Pada malam harinya, Polda Metro Jaya mengumumkan 257 tersangka kerusuhan Aksi 22 Mei. Salah seorang pelaku ternyata menyebarkan hasutan lewat grup WhatsApp.

Para tersangka ricuh 22 Mei. Salah seorang pelaku ada yang menyebar hasutan lewat grup WhatsApp.Para tersangka ricuh 22 Mei. Salah seorang pelaku ada yang menyebar hasutan lewat grup WhatsApp. (Foto: Samsuduha Wildansyah/detikcom)

"Ada di balik saya tersangka provokator yang dia menggugah kata-kata di WhatsApp Group 'persiapan buat perang, yang lain mana?'. Kemudian ada kata-kata lagi 'rusuh sudah sampai Tanah Abang, sudah bakar-bakaran'," ujar Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Argo Yuwono saat jumpa pers di Mapolda Metro Jaya, Jakarta, Rabu (22/5) malam.

Ada Catatan

Ketua Dewan Perwakikan Rakyat (DPR) Bambang Soesatyo alias Bamsoet meminta pemerintah segera mengevaluasi pembatasan akses tersebut. Selain WhatsApp, beberapa media sosial yang aksesnya dibatasi adalah Instagram dan Facebook.

"Mendorong pemerintah mempertimbangkan untuk dapat segera mencabut pembatasan penggunaan media sosial, mengingat media sosial merupakan salah satu kebutuhan masyarakat untuk berkomunikasi," ucap Bamsoet dalam keterangan tertulis, Kamis (23/5).


Meski begitu, ia mengingatkan masyarakat agar bijaksana dalam menggunakan media sosial. Bamsoet meminta masyarakat tidak menyebarkan konten yang bersifat negatif dan provokatif.

"Mengingat jika terjadi kesalahan dalam menyampaikan sesuatu dalam media sosial dapat dikenakan sanksi hukum sesuai dengan undang-undang yang berlaku," ujarnya.

Selain Bamsoet, catatan datang dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang menilai kebijakan pemerintah berlebihan. Komnas HAM mempertanyakan dasar pembatasan tersebut.


"Kita menganggap, apa dasarnya gitu? Menurut kita agak lebay lah itu," kata Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik di RSCM, Jakarta Pusat, Kamis (23/5).

Menurut Taufan, pembatasan tersebut berkaitan dengan hak masyarakat untuk mendapatkan informasi. Taufan mengatakan hak tersebut bisa saja dibatasi, namun harus dengan prosedur dan alasan yang kuat.

"Mendapatkan informasi itu kan hak asasi. Memang bisa dilimitasi, tapi harus dengan alasan tertentu, prosedur tertentu. Jadi memang ada wewenang mereka untuk melakukan itu. Tapi ya mestinya wewenang itu digunakan dengan dasar yang kuat. Itu aja sebenarnya," ujar Taufan.
Halaman 2 dari 2
(dkp/gbr)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads