Direktur Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah (Urais Binsyar) Kemenag, Agus Salim, menyatakan waktu subuh adalah saat fajar shadiq yang pertama atau yang berwarna putih. Dia mengatakan fajar di Indonesia wajar lebih awal karena atmosfer ekuator yang lebih tinggi.
"Waktu subuh adalah saat fajar shadiq yang pertama, berwarna putih, bukan fajar yang berwarna kuning. Fajar di Indonesia wajar lebih awal, karena atmosfer ekuator lebih tinggi sehingga wajar bila fajar terjadi ketika posisi matahari -20 derajat," ujar Agus, Sabtu (11/5/2019).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia mengatakan waktu subuh harusnya diukur dalam kondisi langit cerah dan bebas polusi cahaya. Kemenag, katanya, telah melakukan penelitian dengan melibatkan seluruh pakar astronomi pada 23-25 April 2018 di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur (NTT).
"Tim melakukan pengukuran dengan menggunakan SQM (Sky Quality Meter), kamera, dan secara visual sebelum fajar sampai matahari terbit. Pengukuran SQM dilakukan oleh Hendro Setyanto (astronom pengelola Imah Nong) pada 24 April 2018 dan Rukman Nugraha (astronom BMKG) pada 25 April 2018. Pemotretan dengan kamera DSLR dilakukan AR Sugeng Riyadi (astronom amatir, Kepala Observatorium Assalam) dan diolah oleh Dr Rinto Anugraha (Dosen Fisika UGM, Pengajar Falak di UIN Semarang)," ucap Agus.
Lalu apa hasilnya?
"Hasilnya, munculnya fajar pada saat ketinggian matahari -20 derajat mempunyai dukungan data pengamatan, jadi jadwal salat yang dikeluarkan Kementerian Agama sudah tepat," tuturnya.
Sebelumnya, ISRN Uhamka menyatakan ada perbedaan waktu yang cukup mencolok di waktu salat subuh dan salat isya. Penelitian dilakukan di sejumlah titik di Indonesia sejak 2017 lalu. Metode pengambilan data menggunakan Sky Quality Meter (SQM).
Verifikasi menggunakan 7-8 jenis sensor (kamera). Sedangkan nama algoritme proses data SQM adalah Algoritme Saksono.
Direktur ISRN Uhamka Tono Saksono menjelaskan waktu salat subuh dimulai saat fajar terbit dan diakhiri saat matahari terbit. Menurut Tono, salat subuh seharusnya dimulai saat sun depression angle atau DIP berada di 13,3 derajat. DIP merupakan istilah untuk menjelaskan posisi matahari saat berada di bawah ufuk.
"Matahari sebetulnya masih di bawah ufuk, tapi atmosfer sudah merambatkan cahaya, jadi sudah mulai terang. Itulah fajar, saat masuknya subuh. Nah itu kira-kira terjadi saat matahari berada di bawah kira-kira 13,3 derajat," kata Tono saat dihubungi, Jumat (10/5).
Namun, sambung Tono, pemerintah menetapkan awal waktu Salat Subuh saat matahari berada pada DIP 20 derajat. DIP yang ditetapkan pemerintah, kata dia, berbeda sekitar 6,7 derajat dengan hasil penelitian ISRN Uhamka.
Setiap 1 derajat sama dengan perbedaan waktu sekitar 4 menit. Jika merujuk angka perbedaan DIP sebesar 6,7 derajat, maka perbedaan waktu Salat Subuh di Indonesia dinilai lebih awal sekitar 26 menit.
"Kira-kira (Waktu Salat Subuh) terlalu cepat 26 menit," ujar Tono.
Perbedaan juga ditemukan di waktu Salat Isya. Tono menyebut waktu Salat Isya di Indonesia lebih lambat sekitar 19 menit. (haf/jor)