Mulanya Pemprov DKI Jakarta menyerahkan pengelolaan air minum dari PD PAM ke swasta hingga pada 2012 sejumlah warga menggugatnya ke pengadilan. Angin berembus ke arah warga saat pengadilan mengabulkannya pada 24 Maret 2015.
Saat itu majelis hakim menyatakan penyerahan pengelolaan air ke swasta melanggar hukum. Putusan itu dikuatkan hingga tingkat kasasi. Namun pemerintah melakukan peninjauan kembali (PK).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Permohonan PK yang diajukan oleh Negara Republik Indonesia cq Presiden Republik Indonesia cq Menteri Keuangan RI dikabulkan oleh Mahkamah Agung (MA) dan membatalkan putusan judex juris," kata juru bicara MA hakim agung Andi Samsan Nganri kepada detikcom, Jumat (10/5/2019).
MA mengadili kembali yang dalam putusannya antara lain menyatakan gugatan para penggugat tidak memenuhi syarat sebagai gugatan citizen law suit (CLS). Karena gugatan tersebut melibatkan pihak lain di luar pemerintah sebagai pihak, gugatannya dinilai bercacat formil.
"Atas dasar itu, eksepsi pihak tergugat dikabulkan. Dalam pokok perkara menyatakan gugatan para penggugat tidak memenuhi syarat sebagai gugatan citizen law suit, tidak diterima (niet onkvanklijke verklaard)," ujar Andi Samsan Nganro.
Perkara Nomor 841 PK/PDT/2018 diputus oleh majelis hakim PK yang terdiri dari Sultoni Mohdally sebagai ketua majelis. Adapun anggota PK adalah Hamdi dan Maria Anna Samiyati.
Namun rupanya, sebelum putusan itu diumumkan, Tim Evaluasi Tata Kelola Air Minum DKI Jakarta berkunjung ke KPK membahas persoalan itu. Bagaimana respons KPK?
Kabiro Humas KPK Febri Diansyah mengatakan penjelasan dari Tim Evaluasi Tata Kelola Air Minum DKI Jakarta itu penting. Sebab, menurut Febri, KPK melihat ada risiko dalam klausul perjanjian kerja sama yang tidak berpihak pada kepentingan Pemprov DKI dan masyarakat pada umumnya.
"Siang ini Direktorat Pengaduan Masyarakat meminta penjelasan Tim Tata Kelola untuk meminta penjelasan mengenai rencana Pemprov DKI terkait dengan berakhirnya kontrak tahun 2023 dengan Palyja (PAM Lyonnaise Jaya) dan Aetra," ujar Febri.
Salah satu yang menjadi sorotan KPK adalah adanya risiko kerugian Rp 1,2 triliun terkait perjanjian kerja sama antara PAM Jaya, Aetra, dan Palyja. Febri mengatakan, meski MA telah memutuskan swasta tetap bisa mengelola air di Jakarta, risiko kerugian tetap harus diperhatikan.
"Sebagaimana berkembang dalam proses peradilan tersebut, terdapat risiko kerugian terkait perjanjian kerja sama antara PAM Jaya, Aetra, dan Palyja, yaitu sekitar Rp 1,2 triliun. Meskipun MA telah memutus PK dalam perkara ini, namun sejumlah temuan substansial perlu tetap diperhatikan agar tidak merugikan kepentingan Pemprov DKI dan masyarakat secara luas," ujar Febri.
Dia berharap proses yang dilakukan Pemprov DKI terkait polemik pengelolaan air oleh swasta ini menerapkan prinsip integritas. Kepentingan masyarakat, kata Febri, harus diutamakan.
"Hal ini penting dilakukan agar meminimalkan risiko terjadinya korupsi di masa mendatang," tuturnya.
Sebelumnya, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan berencana mengambil alih pengelolaan air dari pihak swasta. Anies berargumen, Pemprov DKI Jakarta mengalami kerugian setelah perjanjian pada 1997 saat pengelolaan dilakukan oleh Palyja dan Aetra.
"Posisi Pemprov DKI sangat jelas dan tegas, Pemprov akan segera ambil alih pengelolaan air di Jakarta demi mendukung target perluasan air bersih di Jakarta. Tujuannya koreksi perjanjian yang dibuat masa Orba 1997. Selama 20 tahun perjanjian, pelayanan air bersih tidak sesuai dengan apa yang diharapkan," kata Anies kepada wartawan di Balai Kota Jakarta, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta (11/2).
PAM Jaya dengan Aetra pun telah menyepakati head of agreement (HoA) pengalihan pengelolaan air. Hal ini merupakan langkah awal pengambilalihan pengelolaan air dari pihak swasta ke PAM Jaya selaku BUMD DKI Jakarta.
Sementara itu, Palyja belum menyepakati HoA. Anies pun mengkritik Palyja dengan menyebut perusahaan tersebut tidak kooperatif.
"Kita perlu sampaikan, Palyja tidak kooperatif dan iktikad untuk bertanggung jawab atas penyediaan air warga Jakarta, tidak muncul di situ. Kita jalan yang sudah ada sambil kita bicara terus sambil Palyja kooperatif," kata Anies di gedung PKK Melati Jaya, Jalan Kebagusan Raya No 42 Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Jumat (10/5).
Halaman 2 dari 2