Benih-benih golput, kependekan dari golongan putih, sudah ada sejak akhir 1969 setelah disahkannya Undang-Undang Pemilu. Aktivis yang menonjol saat itu, Arief Budiman (Soe Hok Djin, kakak dari Soe Hok Gie), memprotes UU itu karena telah mematikan kekuatan-kekuatan politik baru. Golkar saat itu, yang didukung militer, dinilai telah menginjak hak asasi dan membuat kecewa kaum muda.
Pemilu 1971 diikuti 10 parpol, menyusut hampir dua kali lipatnya ketimbang Pemilu 1955. Arief menilai penyusutan itu sebagai pelanggaran demokrasi. Intervensi pemerintah terhadap parpol peserta Pemilu juga sudah kelewatan. Calon-calon pemimpin PNI diseleksi, pemimpin Permusi ditunjuk langsung oleh Soeharto. Keuangan Golkar disuplai pemerintah. Pegawai negeri dan keluarganya dipaksa masuk Golkar, bila tidak mau, maka kena pecat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Arief dan kawan-kawan memilih memboikot Pemilu 1971. Pemboikot menganjurkan pengikutnya datang ke tempat pemungutan suara (TPS) dan ikut nyoblos, namun mencoblos bagian putih dari surat suara dan bukan tanda gambar partai. Mereka menyengaja supaya pencoblosan mereka tidak sah.
Sebagaimana dijelaskan Nyarwi Ahmad dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Volume 12 Nomor 3 Tahun 2009 terbitan UGM, golput disorot publik saat Pemilu 1971. Selain Arief Budiman, nama lain yang turut menjadi motor gerakan itu adalah Imam Waluyo, Julius Usman, dan Husin Umar. Mereka menggelar Proklamasi Golput di Gedung Balai Budaya Jakarta. Lambang mereka adalah segi lima dengan warna dasar putih. Pada saat itu, pamflet bertebaran berisi tulisan, 'Tidak Memilih Hak Saudara', 'Tolak Paksaan dari Manapun', dan 'Golongan Putih Penonton yang Baik'.
Di mata mereka, Pemilu 1971 cuma seremonial belaka. Pemilu cuma pesta sesaat yang tak akan memunculkan perubahan ke arah yang lebih baik. Fenomena golput bertahan sampai Pemilu 1997. Alasannya saat itu, hanya 40% anggota MPR yang dihasilkan Pemilu, sedangkan 60% sisanya diangkat oleh penguasa. Pemerintah Orde Baru ketar-ketir pula dengan aksi golput.
"Besaran angka Golput dalam Pemilu selalu menjadi salah satu indikator ketakutan rezim Orde Baru," tulis Nyarwi Ahmad.
Dalam 'Indonesian Politics and Society: A Reader' karya David Bourchier dan Vedi R Hadiz, golput yang digawangi Arief Budiman dan kawan-kawan itu menerbitkan semacam manifesto pada 28 Mei 1971, judulnya 'Penjelasan tentang Golongan Putih'. Di situ, mereka menjelaskan golput bukan organisasi, melainkan identitas bagi mereka yang tidak puas atas keadaan karena demokrasi diinjak-injak oleh parpol dan Golkar.
Dikatakan oleh mereka saat itu, golput adalah gerakan kebudayaan, bertujuan golput adalah menjaga tradisi demokrasi di Indonesia. Golput mengimbau pengikutnya menjadi penonton yang baik. Bagi mereka, tidak memilih adalah hak tiap warga negara. Mereka mencantumkan dialog Arief Budiman dengan Presiden Soeharto.
"Jika saya tidak setuju dengan Pemilu saat ini dan saya menulis artikel yang mengekspresikan pendapat saya yang berlawanan, dan saya tidak memilih, apakah saya akan ditangkap? Atau apakah pendirian saya akan dianggap sebagai kritikan loyal?" tanya Arief kepada Soeharto. Selanjutnya, Arief menjelaskan jawaban Soeharto dalam kalimat tidak langsung, bahwa tidak memilih adalah hak dia sendiri, yang penting tidak melakukan perbuatan melawan hukum, menyabotase, atau mengganggu orang lain yang hendak nyoblos. Selama sikap oposisi Arief masih dalam koridor hukum, maka Soeharto menyatakan itu adalah hak dasar Arief sendiri.
![]() |
Golput pada dasarnya adalah mereka yang tidak menggunakan hak pilih. Menyitir Eep Saefulloh Fatah, Nyarwi menjelaskan ada empat jenis golput, yakni:
1. Golput teknis: golput karena alasan teknis maka tak bisa ke TPS atau nyoblos tapi suaranya tidak sah.
2. Golput teknis-politis: golput karena tidak terdaftar sebagai pemilih, disebabkan dirinya sendiri atau pihak lain. Pihak lain misalnya penyelenggara Pemilu atau lembaga statistik terkait.
3. Golput politis: golput karena merasa tidal punya pilihan dari kandidat yang tersedia atau tak percaya bahwa Pemilu bakal membawa perubahan.
4. Golput ideologis: golput karena tak percaya pada demokrasi, entah karena alasan fundamentalisme agama atau ideologi lain.
Ada pula Indra Jaya Piliang yang melihat tiga jenis golput. Pertama, golput ideologis yang cenderung anti-state, pokoknya apa pun yang berhubungan dengan produk negara/pemerintah ditolaknya. Kedua, golput pragmatis yakni orang yang setengah-setengah memandang kegunaan Pemilu, mereka ini bisa jadi tidak mencoblos karena semalam habis begadang lihat bola atau karena memilih bekerja ketimbang ke TPS. Ketiga, golput politis, yakni mereka yang tidak memilih karena pilihan politiknya tidak terakomodasi atau menilai sistem politik merugikan mereka.
Fajar reformasi menyingsing. Pemilu model Orde Baru berganti. Tak ada lagi pemaksaan kasar terhadap warga negara untuk memilih Golkar. Hambatan berdemokrasi berkurang drastis. "Karena itulah kita tidak wajib memboikot Pemilu pada 2004. Akan tetapi, kalau memang materi yang akan dipilih kita anggap ada di bawah standar, apa boleh buat. Golput menjadi halal!" tulis Arief sebagaimana termuat dalam bukunya.
Pada 2009, Majelis Ulama Indonesia (MUI) lewat hasil Ijtimak Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia II menyatakan tidak memilih calon pemimpin adalah haram. Pada 2014, MUI lewat Ketua Umum saat itu, Din Syamsuddin, kembali menyatakan golput adalah haram karena memilih pemimpin hukumnya wajib. Isu soal golput haram ini kembali bergaung di Pemilu 2019.
Golput kehilangan isu di era demokrasi
Nyarwi, yang merupakan Direktur Presidential Studies-DECODE UGM, menilai golput ala Arief Budiman sudah kehilangan konteksnya di Pemilu 2019. Soalnya, rezim otoriter sudah berganti dengan rezim demokrasi. Bila golput dijalankan saat ini, itu tak akan sekeren zaman Orde Baru dulu.
"Dulu, golput adalah alternatif satu-satunya untuk menunjukkan perlawanan. Sekarang sudah lebih banyak alternatif sebenarnya," kata Nyarwi saat berbincang, Jumat (12/4/2019).
![]() |
Kini, sistem politik sudah berubah. Pemilu yang dulunya hanya memilih partai kini sudah memilih kandidat bahkan capres-cawapres secara langsung. Kedua, kontrol informasi politik oleh pemerintah sudah jauh lebih longgar ketimbang era Orde Baru dulu. Malahan, sekarang marak penyesatan informasi, kebanyakan antara masyarakat dan masyarakat, dominan dijalankan via media sosial, bukan kontrol informasi oleh rezim otoriter.
"Isu-isu kebijakan rezim politik sudah hilang," kata dia.
Kalaupun ada golput, itu bukanlah sebagai bentuk perlawanan terhadap otoritarianisme melainkan sebagai strategi menggembosi suara pendukung calon rival. Namun tetap ada golput ideologis atau pragmatis di era ini, bagaimanapun juga demokrasi belum memuaskan semua pihak. Alternatif perlawanan tetap ada, tapi bukan hanya berbentuk aksi golput.
"Alternatifnya sudah banyak. Lewat meme-meme, misalnya sebagai salah satu contoh. Meme Nurhadi-Aldo itu protes simbolik," kata Nyarwi.
Simak Juga "Ini Penjelasan MUI soal Fatwa Haram Golput":
(dnu/fdn)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini