"Ya memang tugas mereka framing, bukan mencari fakta. Dibayar untuk framing, bukan untuk mencari fakta. Kalau orang survei untuk mencari tahu apa yang terjadi di masyarakat, itu dia nggak diumumkan, karena itu adalah untuk kepentingan pengambilan keputusan objektif klien," kata Fahri di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (4/4/2019).
Bahkan, menurut Fahri, ada kecenderungan hasil survei digunakan untuk menyerang kelompok lain. Ia mencontohkan hasil survei yang menyebut pemilih FPI mulai beralih ke Jokowi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Makanya saya bilang nanti penyelenggara survei harusnya ada etikanya, ada hukumnya. Harus mengumumkan dia dibayar oleh siapa, survei atau konsultan. Kalau dia konsultan, ya sudah, dia akan membuat frame," tutur Fahri.
"Jadi kalau ada pemilih sedikit, FPI pilih Jokowi, 'wah ini peristiwa besar', kemudian dibuat seolah-olah orang sudah migrasi ke Pak Jokowi dan sebagainya. Lalu kemudian meng-frame pemilihnya Pak Prabowo ini radikal. Itu semua framing," imbuhnya.
Menurut Fahri, banyak terjadi peralihan di arus bawah masyarakat. Karena itulah, kata dia, dinamika di masyarakat sulit ditangkap oleh lembaga survei.
"Menurut saya itu ada pelanggaran hukumnya, karena mau memanipulasi data dan juga kental persoalan etikanya. Kenapa? Ya karena mereka itu dibayar untuk melakukan itu tetapi tidak transparan," tandas Fahri.
Saksikan juga video 'Survei Indikator: Jokowi-Ma'ruf 55,4%, Prabowo-Sandi 37,4%':
(azr/elz)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini