"Wilayah dan waktu penentuan sampling yang berbeda akan menghasilkan responden yang berbeda," ujar peneliti Alvara Research Center Hasanuddin Ali, dalam diskusi bertajuk 'Analisis Hasil Survei: Mengapa Bisa Beda?', di Jalan Raden Saleh, Jakarta Pusat, Selasa (26/3/2019).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kemudian, tergantung manajemen project saat kita melakukan survei, apakah tenaga lapangan kita memahami seratus persen apa yang dimaksud dalam pertanyaan sehingga responden bisa menjawab dengan benar," katanya.
Sementara itu, peneliti LSI Denny JA, Ikrama Masloman, mengatakan hasil survei memang seharusnya berbeda. Perbedaan itu, menurut Ikrama, disebabkan ada dinamika politik yang bergerak sejak survei di lapangan hingga pemaparan hasilnya.
"Emang hasil survei itu harus beda-beda, orang yang sama, lembaga yang sama, melakukan survei yang sama juga, diulang sampelnya, itu pun hasilnya beda," ujarnya.
Ikrama kemudian memberikan contoh hasil survei sebelum masa Pilkada Jawa Barat 2018. Sebelum pilkada, menurutnya, hampir semua lembaga survei menempatkan elektabilitas pasangan nomor urut 3 Sudrajat-Syaikhu di urutan ketiga. Angkanya hampir seragam di bawah 10 persen.
Ia memaknai hasil survei itu bukan merupakan hasil jangka panjang. Hasil survei yang diumumkan, menurutnya, hanya berlaku di satu waktu, yaitu waktu-waktu saat pengambilan sampel.
"Kurang dari 1 bulan, instalasi dukungan pasangan Sudrajat itu memiliki kenaikan luar biasa. Artinya, survei tidak bisa dibaca dalam jangka waktu yang lama. Jika dilakukan bulan Maret, maka datanya hanya berlaku pada bulan Maret," paparnya. (eva/knv)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini