Dalam pemaparan awalnya, anggota Fraksi Nasdem MPR RI Johnny G Plate memulai dengan pertanyaan besar. Apakah masih ada etika dalam perpolitikan Indonesia saat ini. Pertanyaan menggelitik tersebut, menurutnya, harus dijawab dengan baik, terutama oleh para pelaku dan praktisi politik sebagai pembelajaran juga kepada dirinya sendiri dan masyarakat pada umumnya.
"Secara tegas saya katakan, harus. Dalam berpolitik harus beretika, etika dan politik harus seiring, sejalan, dan saling melengkapi. Secara normatif dalam perpolitikan kita, etika politik kita harus mengacu, berbasis, dan berlandaskan kepada ideologi bangsa kita Pancasila dan tiga konsensus lainnya, yakni kebangsaan NKRI, kemajemukan, dan konstitusi negara kita," ujarnya dalam keterangan tertulis, Senin (11/3/2019).
Dalam praktik politik di lapangan, khususnya Pilpres 2019, lanjut Johnny, ada beberapa pertanyaan juga terkait etika, yakni etika apa yang mengisi ruang publik bangsa Indonesia. Ia pun menegaskan ada beberapa kekhilafan etika. Pertama, adanya fenomena dan upaya-upaya mengalihkan isu kontestasi pilpres menjadi ajang evaluasi negatif kinerja salah satu capres menjadi keunggulan capres lainnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Untuk itu, peran seluruh elemen masyarakat sangat diperlukan untuk menjaga etika politik kita tetap berjalan di koridor tersebut. Salah satu elemen bangsa tersebut adalah pers nasional yang merupakan pilar demokratis yang penting dalam menjaga kualitas demokrasi kita serta diharapkan mampu memastikan demokrasi kita atau politik kita berada di dalam aturan dan batasan-batasan etika," paparnya.
Dalam kesempatan yang sama, anggota MPR RI dari kelompok DPD RI Akhmad Muqowam mengungkapkan bahwa dalam berdemokrasi etika politik terutama dalam konteks kontestasi pileg dan pilpres, semuanya yang terlibat dalam proses demokrasi baik parpol, caleg, capres, pemilih dan seluruh masyarakat harus beretika dan menjalankan etika tersebut. Jika semua beretika maka akan muncul kedamaian.
"Namun memang faktanya, baik dalam kontestasi pileg dan pilpres terjadi proses 'dis' yang sangat luar biasa. Tapi saya tegaskan masih ada harapan. Artinya, bangsa ini memiliki agama, Pancasila, nilai dan budaya. Yang terpenting, yang harus sama-sama dipahami adalah etika ada dalam ruh dari ideologi yang kita sepakati bersama, yakni Pancasila. Saripati nilai-nilai dalam sila-sila Pancasila itu harus menjadi etika kita dalam berpolitik," tegasnya.
Berbicara soal etika politik, Pakar Psikologi Politik Irfan Aulia menjabarkan terkait kontestasi Pilpres dan Pileg 2019. Menurut Irfan, masyarakat pemilih memilih karena mempertimbangkan tiga hal utama, yakni memilih karena identitasnya sama, memilih karena valuenya sama, dan memilih karena emosinya sama.
"Lalu mengapa ada konflik saat pemilihan? Ini disebabkan karena diferensiasinya nggak jelas. Hal ini terjadi pada kontestasi pilpres antara capres 01 dan 02. Pemilih melihat dari sisi identitas dua capres itu sama, sama-sama orang Jawa, sama-sama pernah menjadi birokrat. Dari sisi value sama juga, sama-sama Pancasila. Tapi dari sisi emosi ini yang beda dan ini yang dimainkan. Maka banyaklah bermunculan serangan hoax-hoax," ungkapnya.
Memilih karena emosi, lanjut Irfan, adalah sisi yang paling berbahaya karena sangat berpotensi memecah belah. Konflik-konflik etika tidak akan pernah hadir dalam tataran kesamaan identitas dan value karena peserta kontestasi pasti bicara sama, yakni Pancasila dan NKRI.
Tapi, lanjutnya, kalau bicara emosi, konflik etika akan hadir. Politic disengagement juga akan hadir, yakni masyarakat tidak lagi merasa memiliki politik dan politik menjadi hal lain yang tidak berhubungan dengan kebutuhannya sehari-hari. Menurutnya, political distrust akan sangat kental.
"Lalu apa yang harus dilakukan? Kita semua harus memperhatikan dan melakukan upaya-upaya mengelola dan mengedukasi emosi rakyat yang berbeda-beda itu menjadi sama, yakni menebarkan sense of hope, memunculkan harapan yang sama akan sejahteranya negeri ini. Ini sangat penting, sebab jika politic disengagement yang hadir, maka kita akan kehilangan negara ini akibat political distrust yang sangat tinggi," tandasnya. (prf/ega)