"Jadi ini bukan sesuatu yang tiba-tiba sifatnya, ini akumulasi kegagalan pendidikan politik yang semestinya dilakukan partai politik, negara, dan civil society. Pendidikan politik dalam arti luas, pendidikan pemimpin, pendidikan wawasan kebangsaan, pendidikan cinta tanah air, dan sebagainya," kata Syamsuddin dalam diskusi 'Hak Konstitusional Pemilih Dalam Negara Demokratis' di Jenggala Center, Jl Erlangga V No 26, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis (28/2/2019).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ya mohon maaf ya, sudah 3 bulan masa kampanye, mohon maaf, tidak maju-maju, saling menjatuhkan, saling membela paslon masing-masing walaupun salah. Saya menilainya tidak maju-maju 3 bulan ini, kenapa? Yang diulang-ulang itukan saling menjatuhkan. Padahal publik, tadi sudah saya katakan, hak publik untuk mendapatkan kampanye yang mendidik, edukatif, mencerdaskan, yang membuka mata kita bangsa ini mau dibawa ke mana sama Pak Jokowi? Bangsa ini mau dibawa ke mana oleh Pak Prabowo dalam 50 tahun ke depan? Itu yang kita butuhkan sebagai publik," paparnya.
Sementara itu, peneliti FORMAPPI, Lucius Karus menambahkan, masalah lain yang terjadi saat pemilu yakni terkait daftar pemilih tetap (DPT). Dia mengatakan harus ada kepastian hak asasi setiap warga untuk memilih pada 17 April mendatang.
"Jadi, kalau sekarang kita ribut bagaimana soal jaminan hak asasi warga negara kemudian untuk memilih pada 17 April, kita harus kembali saya kira mempersoalkan Undang-undang Pemilu yang membatasi mereka yang memegang e-KTP itu boleh mencoblos. Masalahnya di situ banyak kerumitan, karena Undang-undang Pemilu dibahas dalam situasi yang panas menjelang pemilu," kata Karus. (idn/jbr)