Kisah Tukang Cukur yang Jadi Pemimpin Umat Penghayat

Kisah Tukang Cukur yang Jadi Pemimpin Umat Penghayat

Erliana Riady - detikNews
Rabu, 27 Feb 2019 16:12 WIB
Foto: Ketua Paguyuban Warga Sapta Darma Blitar Edy Sanyoto (Erliana-detikcom)
Blitar - Ajaran Sapta Darma terdaftar sebagai satu diantara nama penghayat kepercayaan di Blitar. Dalam sejarahnya, ajaran ini dibawa Sri Gutama sejak tahun 1953.

Dalam buku Catur Windu warga kerohanian Sapta Darma Jawa Timur 1953-1985, dituliskan bagaimana awal mula ajaran itu mulai dikenalkan pada warga atau jamaahnya.

"Seperti sejarah yang dituliskan dalam buku itu, Sapta Darma adalah wahyu yang diturunkan kepada Bopo Panuntun Agung Sri Gutama dari Pare Kediri pada tahun 1953," ucap Ketua Paguyuban Warga Sapta Darma Blitar Edy Sanyoto pada detikcom di rumahnya Jalan Dieng Kota Blitar, Rabu (27/2/2019).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sri Gutama adalah nama mulia yang disematkan pada Hardjo Sapuro, seorang tukang cukur di Pare, Kediri. Di buku itu diceritakan, pada suatu pagi, Tuhan dengan kekuatannya menuntun Harjo melakukan gerakan sujud. Dengan menghadap ke timur, sujud itu dilakukan sebanyak tiga kali.

"Sejak melakukan sujud menghadap ke timur itu, Bopo Sri Gutama bisa merasakan kehadiran Tuhan di dalam dirinya. Manunggaling kawulo Gusti. Sejak itulah ajaran Sapta Darma ada," tutur Edy.



Ajaran ini, lanjut Edy, tidak sama dengan budaya masyarakat Jepang yang menyembah matahari atau Taisho. Karena dewa matahari merupakan dewa masyarakat negeri sakura itu. Di Sapta Darmo tidak mendewakan siapa-siapa. Mereka hanya yakin dan percaya pada Tuhan Yang Maha Esa.

Sri Gutama tidak pernah mencari pengikut atau jamaah. Namun beberapa orang menemuinya dan menanyakan cara ibadah yang dia lakukan. Penuturan serupa juga diakui Edy.

"Dari semua warga penghayat kepercayaan, mereka seperti dituntun Tuhan untuk menemukan orang-orang pilihannya seperti Bopo Sri Gutama. Panuntun inilah yang akan menjelaskan keresahan perjalanan spiritual warganya," ungkapnya.



Perjalanan Sri Gutama menemui warganya diceritakan sampai ke wilayah Sumatra, Sulawesi, Kalimantan, Bali bahkan Papua.

"Bopo Sri Gutama wafat di Surabaya tahun 1985. Jenazahnya dikremasi dan abunya dilarung ke Pantai Kenjeran," kata Edy.

Dalam satu wasiatnya, Sri Gutama memang menghendaki jenazahnya dikremasi lalu abunya disebar ke laut. Dengan dasar, dia tidak mau makamnya dijadikan punden lalu dikeramatkan warganya.

Selain memberikan ajaran Warah Pitu (tujuh ajaran), Sri Gutama juga mewariskan sebanyak 30 doa wasiat bagi warganya. Doa itu digunakan untuk menyembuhkan orang sakit akibat gangguan makhluk halus.

"Seperti nabi di agama lain. Sri Gutama juga dianugrahi syafaat atau kabisan. Yaitu menyembuhkan orang dari gangguan makhluk halus. Tapi 30 wasiat ini tidak dibuka untuk umum. Hanya bagi internal warga saja," pungkasnya.

(rvk/asp)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads