"Menurut saya, ini (penguatan politik identitas) kegagalan kita untuk bersikap tegas dan ketat pada Pilkada 2017. Khususnya di DKI Jakarta. Nah, karena di Pilkada di DKI itu ada semacam permakluman terhadap penggunaan identitas dalam politik dan imbasnya sampai sekarang," kata Ray dalam diskusi 'Mempertanyakan Keberpihakan Partai Politik dalam Isu Toleransi' di kantor The Indonesian Institute (TII), Jl HOS Cokroaminoto No 92, Jakarta Pusat, Senin (25/02/2019).
Rai mengatakan, meskipun politik identitas marak digunakan, masih ada orang yang menyadarinya. Misalnya, dia menyoroti kasus hoax tiga ibu di Karawang yang langsung disadari oleh masyarakat.
"Meskipun kalau kita lihat, tapi tidak jauh berbeda juga. Yang terasa sekarang adalah permakluman terhadap politik identitas itu, tapi secara pribadi saya bersyukur karena orang menyadari karena menggunakan politik identitas itu sesungguhnya sangat berbahaya, bagi bangsa ini, meskipun itu belum menjadi sikap umum," kata dia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Terakhir itu kan soal doa, doa yang mengatakan, kalau tidak menangkan seseorang, bisa jadi nggak akan ada yang menyembah-Mu. Itu kan nggak tepat, yang seolah membuat situasi pemilu ini berada di hitam-putih," ujarnya.
Baca juga: Mendagri: Wilayah Rawan Pemilu di Papua |
Menurut Ray, pemanfaatan politik identitas itu jauh lebih berbahaya ketimbang politik uang karena efeknya lebih lama. Untuk itu, ketegasan terkait isu toleransi harus ditanamkan dalam partai politik.
"Bagi saya ancaman toleransi ini cukup berbahaya dibanding dengan politik uang, politik identitas itu waktunya panjang, tidak terbatas hanya satu daerah saja dan hingga ancaman kekerasan. Oleh karena itulah, sikap partai politik yang tegas dalam konteks mengusung toleransi ini sangat penting," tuturnya. (eva/idh)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini