Peristiwa itu terjadi pada Januari 2019. Hingga kini para ADHA belum bersekolah dan hanya belajar di rumah singgah atau selter khusus ADHA di kawasan Taman Makam Pahlawan (TMP) Kusuma Bhakti, Pucangsawit, Jebres, Solo.
Ketua Yayasan Lentera, Yunus Prasetyo, membenarkan kejadian itu. Ke-14 anak tersebut sudah tidak bersekolah lagi di SD Purwotomo.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Yunus mengatakan penolakan di sekolah baru terjadi kali ini. Sebelumnya, saat bersekolah di SD Bumi, Laweyan, mereka dapat menempuh pendidikan selama tiga tahun tanpa gangguan.
Justru kesulitan datang dari pihak lain. Seperti saat di Bumi, mereka tidak diperkenankan memperpanjang sewa rumah. Saat pindah di Kedunglumbu, Pasar Kliwon, mereka mendapatkan penolakan hingga harus kembali ke daerah Laweyan.
Hingga akhirnya pada Desember 2017 mereka diberi tempat oleh Pemkot Surakarta di kawasan TMP Kusuma Bhakti. Bahkan tempat tersebut kini diperbesar atas bantuan beberapa perusahaan.
Yunus berharap pemerintah tidak hanya memberikan rumah singgah yang layak, namun juga hak mendapatkan pendidikan. Yunus ingin ADHA memperoleh haknya tanpa diskriminasi.
"Saya ingin mereka tetap bersekolah di sekolah formal. Tidak boleh ada diskriminasi dengan mereka yang sakit," katanya.
Sementara itu, Wali Kota Surakarta FX Hadi Rudyatmo menyayangkan adanya penolakan tersebut. Menurutnya, memang masyarakat belum tersosialisasi dengan baik mengenai penyakit HIV/AIDS.
"Walaupun penyakit hanya ditularkan lewat hubungan seksual dan jarum suntik, tapi yang namanya masyarakat ya pokoke mboten (pokoknya tidak mau)," ujar Rudy.
Pemkot berupaya agar bisa mendapatkan solusi pekan ini. Sekolah-sekolah di sekitar selter ADHA akan dikumpulkan untuk membahas kemungkinan bersekolah di sana.
"Sebenarnya solusi yang mudah itu homeschooling, tapi akan menjadi diskriminatif. Mudah-mudahan mereka bisa bersekolah di Jebres, yang dekat dengan rumah singgah," tutupnya.
Simak Juga 'Haru! Reaksi Masyarakat terhadap Pejuang HIV':