"Majelis Hakim PT TUN Surabaya tidak memperhatikan, juga tidak mempertimbangkan substansi penting yang ada dalam banding," kata perwakilan tim kuasa hukum, Ni Putu Candra Dewi usai menyerahkan memori kasasi melalui ke PT TUN Denpasar, di kantor YLBHI, Denpasar, Bali, Senin (11/2/2019).
Pengajuan kasasi ini sebagai upaya yang dilakukan warga setelah Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
Surabaya lewat Putusan Nomor 221/B/LH/2018/PT.TUN.SBY tertanggal 26 Desember 2018 memutus menguatkan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Denpasar pada 16 Agustus 2018. Di mana gugatan banding yang dilayangkan warga terdampak Celukan Bawang bersama Greenpeace tidak diterima karena dianggap tidak memiliki kepentingan dalam mengajukan gugatan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Candra menyebut gugatan yang dilayangkan itu terkait dengan penerbitan Surat Keputusan Gubernur Bali Nomor 660.3/3985/IV-A/DISMPT tentang Izin Lingkungan Hidup Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) PT PLTU Celukan Bawang.
Candra lalu merinci alasan pengajuan kasasi terhadap putusan PT TUN Surabaya di antaranya Putusan Tingkat Banding yang menyatakan bahwa akibat hukum dari izin lingkungan adalah pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup terhadap objek sengketa hingga terjadinya pencemaran lingkungan sebagai akibat hukum dari izin lingkungan.
"Hal yang mana berpengaruh pada dirugikannya Para Pemohon Kasasi karena dianggap tidak memiliki 'kepentingan hukum yang dirugikan'. Padahal, Objek Sengketa bersifat strategis dan berdampak luas.
Di sisi lain putusan hakim soal tenggang waktu 90 hari dalam perkara juga dinilai tidak tepat. Sebab, menurutnya jangka waktu 90 hari itu seharusnya dihitung sejak pemohon kasasi I mendapatkan sokumen AMDAL dan Objek Sengketa dari LBH Bali.
"Sehingga putusan tingkat banding memuat pertentangan hukum dan karenanya melanggar Pasal 53 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman," tuturnya.
Selain itu, putusan terkait terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan merupakan akibat hukum dari izin lingkungan, juga dinilai tidak tepat. Sebab, pencemaran atau kerusakan lingkungan merupakan dampak yang tidak dikehendaki dari dijalankannya kegiatan usaha.
"Artinya, kebolehan untuk beroperasi maupun melakukan konstruksi sesungguhnya merupakan akibat hukum dari izin usaha, dan hak untuk membuang limbah ke media lingkungan hidup tidak akan dapat dilakukan apabila operasi dan konstruksi belum terjadi. Begitu pula perubahan usaha dan/atau kegiatan juga tidak mungkin terjadi jika operasi dan konstruksi belum dilakukan. Maka hal ini berdampak pada penggugat tidak bisa mengajukan gugatan atas potensi dampak dari Objek Sengketa," urainya.
Majelis hakim juga dinilai lalai dalam memenuhi syarat putusan tata usaha negara yang ditentukan dalam Pasal 109 ayat (1) UU PTUN. Alasannya, majelis tidak mempertimbangkan setiap bukti yang ada selama persidangan.
"Dimasukannya memori kasasi menunjukkan bahwa, gerakan perlawanan masyarakat terus berlangsung. Kami juga menagih janji Gubernur Bali I Wayan Koster yang berjanji tidak akan membiarkan bertambahnya PLTU Batubara di Bali yang jelas mengancam kesehatan masyarakat dan menimbulkan risiko besar pada perekonomian dan industri pariwisata," ujar Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia Didit Haryo di lokasi yang sama. (asp/asp)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini