"(Pernyataan kontroversial Presiden Jokowi tentang propaganda) ini kan memang ada Rusia-rusianya. Nah Rusia-rusianya itu setahu saya dulu dimulai dengan percobaan terhadap anjing. Anjing dilemparkan sesuatu, disuruh ambil, kalau diambil, dikasih makanan, diulang terus, sehingga akhirnya anjingnya hafal," kata Arbi dalam diskusi bertajuk 'Propaganda Rusia, Ancaman bagi Demokrasi Kita?' di Jalan Prof Dr Satrio, Kuningan, Jakarta Selatan, Sabtu (9/2/2019).
"Intinya apa? Cuci otak. Otak rakyat, pemilih dicuci. Nah caranya ada dua, pertama ulang terus, kedua berikan substansi yang baru di luar pengetahuan masyarakat. Saya kira ini yang sedang berlangsung untuk mengisi waktu kampanye," sambung Arbi.
Arbi mengkritik kebijakan KPU yang dinilai terlalu lama dalam memberikan masa kampanye bagi calon anggota legislatif dan pasangan calon presiden. Masa kampanye yang terlalu lama, menurut Arbi, dimanfaatkan para peserta pemilu untuk melancarkan propaganda-propaganda.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jadi ini kan menurut saya kampanye yang panjang. Lalu, KPU maunya calon-calon itu menyampaikan apa dan kepada siapa, nah tentunya yang diinginkan menyampaikan program, itu yang selalu disebut KPU. Tapi kalau program yang maksud sebagai rencana-rencana terinci, ada angka-angka, itu untuk siapa? Apakah orang kebanyakan paham angka-angka itu? Bisakah mereka menghubungkan angka itu dengan kerugian-keuntungan dia memilih calon tertentu? Saya kira nggak bisa," jelas Arbi.
"Jadi saya kira (rencana-rencana terperinci dan data-data) itu semuanya untuk golongan menengah ke atas. Kalau gitu, yang golongan bawah nggak dapat. Bagaimana untuk golongan yang bawah? Ya propaganda," imbuh Arbi.
Arbi menilai KPU telah gagal melaksanakan pemilu sesuai marwahnya. Peserta pemilu yang seharusnya menyampaikan informasi yang bersifat mencerahkan, tutur Arbi, kini justru melakukan propaganda.
"KPU mengalami kegagalan karena seharusnya kan kampanye itu bersifat normal, memberikan penerangan, penjelasan dari calon kepada masyarakat. Fungsi kampanye seperti itu, tapi partai-partai, calon-calon sekarang ini 'menekuk' pemberian informasi itu menjadi propaganda. Dia putar menjadi propaganda," ujar Arbi.
Lantas, siapakah yang memainkan propaganda? Menurut Arbi, semua peserta pemilu, baik di pemilihan legislatif maupun eksekutif. Di pilpres, Arbi menilai kubu pasangan calon nomor urut 01 Joko Widodo-Kiai Maruf Amin dan kubu pasangan calon nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno sama-sama menggunakan propaganda untuk meraih kemenangan.
"Dilihat secara netral, kedua-duanya calon menggunakan (propaganda). Soal pengulangan-pengulangan (informasi) kan dua-duanya sama, apa saja diputar kembali. Tapi soal isi berbeda. Nomor pertama adalah apa yang dikerjakan selama ini, disampaikan. Yang nomor dua, apa yang dipikirkan dan dipersepsikannya atau apa yan dimaknainya itu yang disampaikan," tandas Arbi.
Sementara itu, Direktur Lembaga Pemilih Indonesia (LPI) Boni Hargens berpendapat perang propaganda pada pilpres dimulai lewat hoax. Menurutnya, peserta pemilu telah mengadopsi perang propaganda Rusia.
"Suburnya hoaks dan dahsyatnya narasi kebencian yang berbalut politik identitas sejak 2016 menandakan bahwa propaganda Rusia telah diadopsi dalam politik elektoral di Indonesia. Ada kelompok yang bernafsu meraih kekuasaan dengan menghalalkan segala cara," ungkap Boni.
"Model politik berbasis kebohongan yang diterapkan dalam konteks perang diterapkan dalam konteks pemilu, ini adalah ancaman serius terhadap ketahanan demokrasi dan peradaban," lanjut dia. (aud/asp)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini